Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Legowo Menjadi Senior

7 Agustus 2021   08:15 Diperbarui: 8 Agustus 2021   23:01 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karyawan dengan salah satu senior. (Sumber: Free-Photos from Pixabay)

Saya beruntung pernah lama bekerja di sebuah perusahaan media yang "mengharuskan" karyawannya untuk memanggil rekan-rekannya, termasuk para seniornya, dengan sebutan mas dan mbak.

Ketika itu, lebih dari 20 tahun lalu, saya diberi tahu oleh manajer HRD pusat bahwa di unit tempat saya bekerja nantinya, dan juga semua unit lain di perusahaan ini, tidak ada panggilan bapak dan ibu, yang ada adalah mas dan mbak.

Ketika itu, saya masih relatif muda. Bahkan, salah satu senior saya sudah berkuliah ketika saya masih duduk di bangku SD. 

Namun, karena panggilan mbak, saya tidak merasa senior saya itu menjadi orang yang tua. Bahkan, mbak senior itu juga jadi kelihatan awet muda. Dan setelah pensiun bertahun-tahun, wajahnya masih tetap seperti ketika saya pertama kali masuk kantor. Suwer!

Tentu saja, pada selama perjalanan saya di kantor itu, ada beberapa orang yang tidak bisa dipanggil dengan mas. 

Beberapa saya panggil bapak, yang berlaku untuk big boss. Rasanya aneh saja memanggil kedua petinggi dengan panggilan mas. Mereka sudah sepuh, bos pula.

Lalu, ada juga yang saya panggil bang. Biasanya itu untuk senior-senior saya yang bukan orang Jawa. Bukan bermaksud membedakan suku lho ya. Tapi, mereka memang lebih pantas kalau dipanggil abang. Ada juga yang dipanggil uda; mestinya sudah tahu, senior itu berasal dari mana.

Sampai pada suatu masa di mana saya mendapat panggilan mbak dari para junior saya. Karena saya sudah melihat apa yang dilakukan para senior ketika saya menjadi junior mereka, maka saya pun meniru, sebab memang tidak ada salahnya.

Saya sama sekali tidak merasa tua di antara para junior. Kadang, kalau sedang iseng, mereka akan bertanya ada di mana saya pada tahun tertentu. 

Saya akan jawab oh saya sedang ada di kota ini, meliput ini itu, bla bla bla. Dan, mereka akan menjawab wah saya masih SD! Nah, percakapannya sama 'kan dengan yang saya alami bersama senior saya.

Kadang, ada juga junior yang ternyata bisa saja menjadi anak saya, jika dilihat dari tahun kelahirannya. Biasanya, kami akan tertawa berderai-derai menyadari kenyataan itu.

Saya pun sama sekali tidak masalah jika ada junior saya yang kemudian menjadi bos saya. Nah, kalau itu kasusnya, maka mereka, kebanyakan laki-laki sih yang menjadi bos, akan saya panggil "pak". 

Sebenarnya, saya bisa memanggil mereka dengan nama langsung, tapi 'kan tidak elok. Dipanggil mas, mereka masih muda. Jalan tengah adalah memanggil mereka "pak".

Kebiasaan memanggil mas dan mbak itu terbawa ketika saya berada di luar kantor, di tempat umum. 

Saya akan memanggil mas dan mbak kepada siapa saja. Kalau saya perhatikan, mereka akan kaget dipanggil dengan sebutan itu, tapi tidak keberatan. Sebab, saya pikir, panggilan mas dan mbak membuat orang yang mendapat panggilan itu menjadi seperti dienomke, entahlah ada atau tidak kata dalam bahasa Jawa itu. Yang saya maksud adalah mereka seperti dimudakan. Siapa yang tidak mau menjadi muda terus, 'kan?

Kembali ke kantor saya.

Sungguh, tidak ada senioritas yang berlaku di unit tempat saya bekerja, sebuah tabloid olahraga yang pernah menjadi terbesar di Indonesia. 

Tidak ada yang namanya urut kacang; yang senior akan selalu menjadi bos lebih dulu dibanding para junior. Tidak demikian. Yang muda bisa saja menjadi bos, sementara yang senior menjadi anak buah.

Mungkin ada yang menggerundel soal itu, tapi tidak untuk saya. Manajemen bukanlah ambisi saya. 

Jika ada yang percaya saya untuk menduduki salah satu jabatan, ya saya terima dan berusaha melakukan yang terbaik. Kalau tidak, ya saya sangat legowo. Ikhlas banget!

Mungkin itulah yang membuat saya betah bekerja di tempat itu selama lebih dari dua dekade, tidak berpikir untuk pindah. Sampai akhirnya kantor kesayangan itu harus bubar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun