Mohon tunggu...
irsyadunnas
irsyadunnas Mohon Tunggu... Guru - Guru Swasta

Blogger, Ghost Writer, penggiat literasi lampung utara

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Asmara Subuh: Sebuah Kisah Cinta Monyet Remaja 90an di Bulan Ramadhan

12 April 2023   21:37 Diperbarui: 12 April 2023   22:30 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto : unsplash/ Tomasz Wosniak

Jika ditanya apa yang paling dirindukan saat masa anak-anak dan remaja di bulan puasa? tentu jawabannya beragam, dari yang suka ngabuburit sore, janjian sama teman-teman geng untuk buka bersama, sampai perihal tengok-tengok calon jodoh di pagi hari selepas shalat subuh. Untuk perkara ini, kami di kampung menyebutnya dengan istilah asmara subuh. Sebuah istilah remaja 90-an untuk kegiatan jalan-jalan setelah shalat subuh berjamaah. Kegiatan ini pada zamannya begitu nge-trend. Di samping sebagai ajang tepe-tepe (tebar pesona), juga untuk curi-curi pandang sama lawan jenis yang ditaksir.

Kegiatan asmara subuh ini biasanya akan padat di hari minggu atau hari libur. Tak heran, jika hari minggu tiba, jalanan penuh dengan remaja lintas desa yang berkumpul pada satu titik. Dari bocah ingusan, sampai bujang tua tumpah ruah di jalan. Kala itu, tanpa gawai kegiatan ini sangat menyenangkan dan bisa dibilang bikin kangen setiap tahunnya. Saya sendiri merasakan betul atmosfer indah asmara subuh di saat remaja. Sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman dan penggunaan gawai, kegiatan ini sudah hilang. Kalaupun ada kumpulan remaja selepas subuh di bulan puasa, dipastikan mereka sedang mabar (main bareng) game online.

Saat itu di tahun 2000, semasa Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), menerapkan kebijakan meliburkan aktivitas sekolah dan perguruan tinggi sebulan penuh selama bulan ramadhan. Tujuan pemerintah saat itu agar semua pelajar bisa memanfaatkan libur puasa agar fokus beribadah dan membantu orangtua di rumah. Bisa dibilang kebijakan ini efektif dan tidak efektif. 

Bagi pelajar yang orangtuanya punya usaha alias berdagang, tentu orangtua mereka merasa terbantu karena di bulan puasa kesibukan usaha meningkat. Tapi orangtuanya yang bukan pedagang, dipastikan hanya manyun di rumah menunggu sore, dan tidak produktif sama sekali. Maka asmara subuh adalah kegiatan yang paling kami nantikan. Kami merasa rugi jika melewatkan momen seru ini, apalagi jika ada si manis yang muncul, makin menambah semangat untuk unjuk ketampanan. 

Pernah suatu ketika, kami mendengar bahwa ada seorang gadis remaja dari Jakarta yang liburan ke desa kami. Kebetulan keluarga besarnya berada di tempat kami, termasuk kakek dan neneknya. Tentu sebagai cowok-cowok kampung yang sok ganteng, kami sangat bersemangat. Apalagi desas-desusnya, pagi itu di kegiatan asmara subuh ia akan datang diajak sepupunya. Wah, dalam benak kami, secantik apa sih cewek dari Jakarta itu. Dalam bayangan saya juga, cewek-cewek Jakarta pasti seperti yang terlihat di sinetron, cantik dan gaul. Ya, begitulah, namanya juga tinggal di daerah yang jauh dari perkotaan.

Dan benar saja. Pagi itu selepas subuh, anak-anak dan remaja sudah tumpah ruah. Namun lucunya, kumpulan besar itu didominasi anak laki-laki. Pagi itu, semua mata tertuju pada remaja cantik berkulit putih yang sedang duduk bersama sepupunya sambil memainkan kembang api. Wajahnya imut cantik, persis seperti dalam sinetron yang saya bayangkan. Namanya Dinda, begitu informasi yang saya dapat dari teman saya yang sudah lebih dulu datang. 

kami cowok-cowok kampung terpesona dengan senyuman Dinda. Seketika, semua anak laki-laki yang biasanya kusut dan matanya masih ada belek, sudah bersih karena cuci muka. Saya sampai senyum-senyum sendiri. Yang lebih bikin saya senyum sampai ngakak, cewek-cewek di kampung kami sampai terlihat insecure karena keimutan Dinda. Pagi itu mereka tersisih dan tak kami pedulikan karena kehadiran si imut Dinda. Memang asmara subuh yang tak terlupakan.

**

Si imut Dinda tak lama liburan di desa kami. Selesai shalat Ied, ia kembali ke Jakarta bersama orangtuanya. Ada perasaan kehilangan saat itu. Teringat senyuman manisnya, dan jauh dari perilaku orang kota yang biasanya cuek dan semaunya. Kehadiran Dinda menjadi pelengkap indahnya masa remaja kami di desa saat itu. Bahkan sampai kami sudah memiliki anak istri, kami terkadang masih mengingat kehadiran Dinda. Ada rasa penasaran, bagaimana kabarnya kini.

Dinda, jika kamu member kompasiana, dan membaca tulisan ini, kamu pasti sudah jadi emak-emak usia 37-38 tahun, kan? haha. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun