Tahun 2025 belum sampai pertengahan, tapi tak terasa bulan Ramadan sudah tiba. Itu artinya momen mudik lebaran juga sudah di depan mata.
Siapa yang sudah tidak sabar untuk pulang bertemu orangtua, sanak saudara dan handai taulan di kampung halaman? Siapa yang sudah bersiap-siap berburu tiket mudik atau bahkan berbelanja oleh-oleh untuk dibagi-dibagikan.
Libur lebaran dan libur nataru (natal dan tahun baru) selalu menjadi momen yang ditunggu para perantauan setiap tahun. Entah mereka yang pergi merantau ke luar kota, luar pulau, atau bahkan 'kabur aja dulu' luar negeri.
Di momen inilah mereka biasanya berbondong-bondong menempuh jarak puluhan, ratusan, hingga ribuan kilometer untuk pulang. Mereka bahkan rela menghabiskan banyak uang dan merasakan letih di perjalanan untuk menempuh jalan pulang.
Hampir setiap tahun pula, saya menonton liputan seputar mudik di televisi. Mulai dari tren kenaikan harga tiket transportasi umum saat momen libur lebaran dan nataru, euforia belanja persiapan dan pernak-pernik hari raya, status ketersediaan logistik, hingga kepadatan pemudik selama arus mudik dan arus balik. Semuanya melibatkan adanya waktu, uang, dan tenaga yang harus dikorbankan.
Pertanyaannya, is it all worth it?
Mudik Boros, Tak Mudik Mellow
Kata 'mudik' berasal dari bahasa Jawa 'mulih dhisik' yang kurang lebih berarti 'pulang sebentar'.
Menurut para pengamat sosial, kata 'mudik' ini mulai terkenal sejak tahun 1970an, dimana saat itu pembangunan mulai banyak dilakukan di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya.