Kisah The Tattooist of Auschwitz pertama kali diterbitkan di Inggris tahun 2018 dan terjual hampir empat ratus ribu kopi, menunjukkan bahwa novel ini cukup menarik perhatian dan minat pembaca. Tentunya karena kisah ini terinspirasi dari kisah nyata dan merupakan penceritaan ulang yang dituturkan oleh Lale sendiri atas pengalamannya menjadi Tatowierer selama menjadi tawanan Nazi.
Menariknya begitu novel ini menjadi terkenal dan terjual laris, sejumlah berita (misalnya The Guardian) mengabarkan bahwa Majalah Auschwitz Memorial menemukan sejumlah detail sejarah tentang kamp konsentrasi tersebut keliru, meskipun Heather Morris sebagai penulis novel tersebut, telah mengungkapkan bahwa ia memiliki tim peneliti untuk memastikan kebenaran dari ingatan-ingatan Lale.
Beberapa informasi yang diberitakan keliru misalnya, nomor kamp Gita yang sebenarnya, rute koneksi kereta api, peristiwa ledakan krematorium kamp, fokus eksperimen dokter Josef Mengele, hubungan gelap pejabat SS dengan tawanan wanita Yahudi bernama Cilka, termasuk pembunuhan tawanan dalam bus yang digunakan sebagai kamar gas seperti yang dilihat Lale dalam petikan paragraf di atas.
Rekomendasi
Buku The Tattooist of Auschwitz memang bukan merupakan dokumen resmi sejarah Holocaust. Tapi terlepas dari detail-detail informasinya akurat atau tidak, menurut saya buku ini tetap menarik untuk dibaca. Kisah-kisah kekejaman Nazi pada masa Holocaust selalu menarik untuk disimak dan dikenang sebagai salah satu sejarah gelap genosida semasa Perang Dunia II.
Saya yakin menyusun novel berdasarkan ingatan seseorang tidak mudah. Apalagi jika peristiwa yang dialami si penutur sudah lama berlalu. Diperlukan penelitian lebih lanjut agar kisahnya dapat ditulis secara runut. Heather Morris berhasil membuat saya berimajinasi dengan jelas tentang lokasi, peristiwa, hingga deskripsi tokoh-tokoh di dalamnya.
Bagaimana ia menggambarkan karakter Lale yang cerdik dan diplomatis namun tetap berusaha low profile supaya tidak menarik perhatian perwira SS, Gita yang sering merasa pasrah dan putus asa namun semangat hidupnya selalu kembali setelah ia bertemu Lale, sikap suportif teman-teman Lale dan Gita di blok-blok tahanan meski selalu diliputi rasa takut terhadap tentara SS. Hingga karakter Baretski si pengawas Lale yang terkadang annoying, tapi sebenarnya berhati baik sehingga hubungan pertemanan tidak terasa terbangun di antara Lale dan Baretski.
Alur ceritanya juga cukup detail namun tidak bertele-tele. Meski ada beberapa bagian cerita dengan alur flashback, saya tidak harus berulang kali kembali ke halaman-halaman sebelumnya supaya lebih mengerti.
Selain itu pemilihan desain cover buku juga terlihat sangat menarik. Juluran lengan-lengan manusia bernuansa hitam-putih mengingatkan saya dengan seragam tawanan Nazi yang bermotif garis-garis seperti piyama. Lengkap dengan teks judul yang ditulis selang-seling seperti penggambaran tato pada lengan tahanan.
Oh ya, ada satu hal lagi yang menarik perhatian saya, yakni tokoh Herr Doktor Josef Mengele sebagai dokter yang ditugaskan di kamp konsentrasi Auschwitz. Dari kacamata Lale, Josef Mengele digambarkan sebagai dokter yang sangat menakutkan. Tidak ada seorang pun yang tahu jalan pikiran dokter tersebut dan sebisa mungkin menghindarinya.