Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Menghindari Pemikiran Toxic Positivity dalam Fenomena Generasi Sandwich

6 Desember 2020   18:07 Diperbarui: 29 Juli 2022   07:43 1825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: www.istockphoto.com)

Ketika si anak masih single dan belum memiliki tanggungan lain, mungkin tidak masalah. Tapi biasanya konflik akan muncul ketika si anak juga sudah memiliki keluarga sendiri yang harus dinafkahi. Maka terjadilah fenomena Generasi Sandwich tadi. Ibarat daging ham dalam roti sandwich, si anak terjepit di antara dua generasi

Menghindari Pemikiran Toxic Positivity dengan Komunikasi Dua Arah
Well, saya sependapat bahwa sebagai seorang anak sudah sepatutnya untuk berbakti kepada orangtua. Bentuk bakti juga bermacam-macam, meski kalau dipikir-pikir mau sebanyak apapun balas budi kita, tetap saja tidak bisa "melunasi" kebaikan dan pengorbanan orangtua pada kita.

Tapi faktanya, tidak semua anak-anak yang sudah lepas dari orangtuanya (dalam hal ini karena si anak telah memiliki keluarga sendiri) memiliki kemapanan finansial sehingga sanggup menanggung biaya hidup dua keluarga (keluarganya sendiri dan keluarga orangtuanya).

Jika mengingat bagaimana luar biasanya pengorbanan orangtua dalam merawat dan mendidik kita sejak kecil, memang kurang pantas rasanya menganggap bahwa menanggung biaya hidup orangtua di masa tua mereka adalah beban. Tapi kenyataannya bagi beberapa keluarga muda yang kurang beruntung dalam hal finansial, hal tersebut memang betul-betul beban.

Jangankan menanggung hidup orangtua, buat makan keluarga tiga kali sehari saja susahnya minta ampun. Belum lagi kebutuhan anak-anak dan dana pendidikan, dana kesehatan, dan lain sebagainya. 

Dan pastinya akan terasa semakin berat ketika kebetulan orangtua memiliki "peninggalan" berupa hutang di sana-sini, sehingga mau tak mau anak-anaknya harus berpartisipasi membantu melunasi hutang-hutang orangtuanya.

Apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah ketika menanggung biaya hidup dua keluarga dirasa cukup memberatkan, jangan menyangkalnya dengan pikiran toxic positivity yang justru bisa semakin menjerumuskan diri ke dalam lingkaran setan.

Toxic Positivity yang saya maksud di sini misalnya pemikiran-pemikiran pasrah semacam, "Yah mau gimana lagi. Memang udah takdir. Hitung-hitung nabung pahala," atau "Anggap aja balas budi biar orangtua juga senang & gak diomongin orang", atau pemikiran-pemikiran lain yang seakan-akan memaksa kita untuk menerima keadaan seperti itu sebagai sesuatu yang lumrah, dan bukannya mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Jadi menurut saya, yang perlu dilakukan adalah mengkomunikasikannya dengan pasangan dan orangtua untuk mencari penyebab dan jalan keluarnya. 

Tentu komunikasi harus dilakukan dengan pendekatan-pendekatan sedemikian rupa supaya tidak menyinggung hati orangtua maupun pasangan. 

Bagaimana solusi terbaik supaya orangtua memahami kesulitan anaknya, tapi di sisi lain si anak juga tidak berarti mengabaikan orangtuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun