Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Penggunaan Obat "Off-Label", Ibarat Pedang Bermata Dua

9 April 2018   11:05 Diperbarui: 5 Januari 2022   18:26 6668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Beberapa waktu yang lalu ada salah seorang teman wanita saya yang bertanya, "Eh, gue kan gak sakit diabetes yah, kok gue sama dokter A dikasi Metformin? Metformin bukannya obat diabetes? Tante gue punya penyakit diabetes, dia udah lama pake Metformin. Apa dokternya salah ya?".

Singkat kata, teman saya ini baru saja menikah namun belum bisa memiliki anak karena dia menderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), yakni adanya ketidakseimbangan kadar hormonal pada wanita, dimana hormon Androgen (yang biasanya kadarnya lebih besar pada laki-laki) diproduksi berlebihan oleh tubuh.

Setelah berkonsultasi ke dokter A itu, dia diberi beberapa obat untuk mengendalikan gejala PCOS, salah satunya Metformin tadi. Dan sekarang dia bertanya-tanya mengapa dia diberi obat diabetes padahal dia tidak menderita penyakit diabetes.

Dalam dunia kedokteran dan farmasi, ada istilah obat off-label (Off-Label Drug). Entah pembaca sekalian ada yang sudah pernah dengar istilah ini atau tidak. Jadi apakah yang dimaksud dengan obat off-label?

Konsep Obat Off-Label

Obat off-label pada dasarnya berarti obat yang diresepkan oleh dokter di luar indikasi dalam brosur atau label yang telah disetujui oleh lembaga atau badan yang berwenang, atau diberikan dalam bentuk sediaan yang berbeda dengan yang disetujui (misalnya seharusnya diberi dalam bentuk kapsul, tapi diberikan dalam bentuk larutan suspensi), atau diberikan dengan dosis yang berbeda dari yang telah tercantum dalam brosur obat (bisa lebih kecil atau lebih besar). 

Badan yang berwenang yang dimaksud di sini adalah BPOM (Indonesia) atau Food and Drug Administration/FDA (Amerika Serikat) atau Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency/MHRA (Inggris) dan lainnya.

Seperti yang pernah saya tulis dalam artikel-artikel sebelumnya bahwa badan atau lembaga ini berwenang memberikan persetujuan peredaran makanan atau obat, setelah mengevaluasi dan memvalidasi data pendukung terkait keamanan dan khasiat produk, termasuk segala informasi yang tercantum dalam kemasan.

Sekarang mungkin Pembaca sekalian jadi berpikir, bukankah berbahaya meresepkan obat yang indikasinya belum disetujui kepada pasien? Apa alasannya dokter meresepkan obat off-label kepada pasien untuk mengobati penyakit tertentu?

Ilustrasi: lieffcabraser.com
Ilustrasi: lieffcabraser.com
Contoh Pengobatan Off-Label

Peresepan obat off-label adalah peresepan yang umum dilakukan. Salah satu alasannya bisa jadi memang belum ada obat yang disetujui untuk mengobati suatu penyakit tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun