Mohon tunggu...
Irma Khalid
Irma Khalid Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Pudarnya Pesona Lada sebagai Primadona

26 Februari 2019   23:48 Diperbarui: 27 Februari 2019   00:05 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lada (okezone.com)

Biji-bijian kecil berwarna hitam itu adalah menjadi primadona. Sensasi pedas dan hangat yang merebak mana kala biji itu digigit, membuat warga Eropa jatuh cinta. Setidaknya di tengah kedinginan cuaca, mereka bisa menyicip penganan yang memberikan kehangatan.

Biji kecil hitam itu adalah lada, rempah asli Nusantara. Ia menjadi motivasi utama para pedagang dari seluruh penjuru dunia rela berlayar mengarungi samudra. 

Kondisi ratusan tahun lalu itu, sangat bertolak belakang dengan saat ini. Pesona lada sebagai primadona seolah telah sirna. Ia tidak lagi seberharga ratusan tahun lalu. Harga jual lada, sampai saat ini belum juga stabil. Bahkan dari tahun ke tahun terus anjlok.

Padahal Februari 2017 silam, harga lada berada di kisaran Rp.100.000 ribu hingga Rp.120.000 per kilogram. Namun pasca anjlok sampai saat ini harga terus merosot di kisaran Rp.46.000 hingga Rp.50.000 per kilogram.

Harga lada (meme edit pribadi)
Harga lada (meme edit pribadi)
Situasi ini jelas sangat berpengaruh pada kehidupan para petani lada. Karena harga lada tak kunjung membaik. Tak hanya berimbas pada minimnya pendapatan dan kebutuhan sehari hari, namun juga pendidikan anak-anak mereka.

Seorang petani lada di Bangka Belitung pun berkeluh kesah. Jangankan untuk bayar uang sekolah anaknya, untuk makan sehari-hari juga mereka kebingungan. Padahal dulu, menjual sekarung lada bisa untuk biaya makan lebih dari sebulan. Ironisnya lagi, Bangka Belitung merupakan salah satu daerah penghasil lada terbesar di Indonesia. 

Sumber

Sejauh ini, para petani lada merasa masih menjadi anak tiri. Karena tidak ada perhatian dari siapa pun. Termasuk dari pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian (Kementan). Mereka tidak merasakan adanya upaya serta terobosan pemerintah memperbaiki harga jual lada. Masa depan mereka pun jadi sebuah pertanyaan besar yang seperti tiada jawaban.

Kita pun berharap, pemerintah tak tinggal diam dengan harga jual lada yang tak kunjung stabil. Sebab jika, kondisi tersebut terus terjadi, minat masyarakat bertani lada kian terkikis. 

Andai masa bisa diputar kembali, dan para petani lada bisa merasakan komoditas tanamannya menjadi primadona dunia. Mungkin mereka tidak akan semerana saat ini.

Jika waktu diputar kembali (meme edit pribadi)
Jika waktu diputar kembali (meme edit pribadi)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun