Mohon tunggu...
Irma Bandiyah
Irma Bandiyah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketetapan MPR di Dalam UU No. 12 Tahun 2011

3 Desember 2015   22:21 Diperbarui: 3 Desember 2015   22:50 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketetapan MPR merupakan salah satu jenis dan hierarki peraturan perundangan-undangan berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya didalam penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 disebutkan : Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan diatas, yakni didalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tanggal 7 Agustus 2003 hanya terdapat 13 Ketetapan MPR saja yang masih berlaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tersebut mengakibatkan tidak adanya Ketetapan MPR yang baru karena terdapat pembatasan terhadap Ketetapan MPR yang menjadi jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Tata urutan Ketetapan MPR didalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah kedua setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berdasarkan pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 disebutkan : Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan adanya penjelasan pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tersebut dapat diartikan bahwa peraturan perundang-undangan dibawah Ketetapan MPR tidak boleh bertentangan dengan Ketetapan MPR. Apabila peraturan tersebut ditaati dan dipatuhi secara konsisten dan terus menerus yang merupakan bukti terwujudnya tertib hukum, maka setiap undang-undang yang dibentuk oleh DPR bersama Presiden harus merujuk pada norma di atasnya, yaitu Ketetapan MPR. Sedangkan hierarki Lembaga Negara menurut Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedudukan MPR sejajar dengan DPR dan Presiden. Hal tersebut dapat dikatakan aneh dan lucu bagaimana lembaga negara yang kedudukannya sejajar dapat mengeluarkan peraturan dengan tingkatan yang berbeda.

Selanjutnya jika dikaitkan dengan pasal 9 UU No. 12 Tahun 2011, yang berbunyi :

  1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
  2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Maka terkait dengan pengujian Ketetapan MPR baik yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun bertentangan dengan Ketetapan MPR lainnya tidak diatur baik didalam pasal 9 UU No. 12 Tahun 2011 maupun didalam penjelasannya. Tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan ataupun pertentangan antara Ketetapan MPR satu dengan Ketetapan MPR yang lain karena peraturan perundang-undangan yang setara pun dapat bertentangan satu sama lain. Apabila hal tersebut terjadi maka hanya dimungkinkan untuk menggunakan asas :

  1. Lex Specialist Derogat Legi Generale, yaitu hukum yang khusus lebih diutamakan daripada hukum yang umum. Artinya, suatu ketentuan yang bersifat mengatur secara umum dapat di kesampingkan oleh ketentuan yang lebih khusus mengatur hal yang sama; atau
  2. Lex Posteriori Derogat Legi Priori, yaitu peraturan yang baru didahulukan daripada peraturan yang lama. Artinya, undang-undang baru diutamakan pelaksanaannya daripada undang-undang lama yang mengatur hal yang sama, apabila dalam undang-undang baru tersebut tidak mengatur pencabutan undang-undang lama.

Banyaknya penafsiran dan pendapat yang pro dan kontra mengenai masuknya kembali Ketetapan MPR didalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan didalam UU No. 12 Tahun 2011 membuat saya tertarik menulis opini ini. Karena perbedaan itu wajar dan akan selalu ada didalam kehidupan kita. Sehingga dengan adanya perbedaan penafsiran dan pendapat tersebut jangan dijadikan sebagai sesuatu yang berlebihan sehingga menimbulkan kekacauan, namun perbedaan penafsiran dan pendapat tersebut harus dijadikan motifasi bagi para pembentuk peraturan perundang-undangan agar semakin semangat dalam membuat peraturan perundang-undangan yang lebih jelas, kompleks, tidak tumpang tindih (overlap), dan bermanfaat bagi masyarakat sehingga dapat menciptakan peraturan perundang-undangan yang berdampak baik bagi masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Negara ini.

Demikian pendapat saya mengenai Ketetapan MPR didalam UU No. 12 Tahun 2011, semoga bermanfaat dan saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata maupun ketikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun