Mohon tunggu...
Irma Alfiyanti
Irma Alfiyanti Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pertanian yang Inkonsisten Jadi Bulan-bulanan

17 Januari 2019   23:40 Diperbarui: 18 Januari 2019   07:16 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kinerja pemerintah kita adalah objek sorotan bagi kelompok oposan. Untuk mereka, segala celah akan dimanfaatkan jadi bahan kritikan. Dalam alam demokrasi, kelakuan semacam ini bukanlah hal yang bisa dihindari. Lagi pula, tidak semua kritik dari kelompok oposan itu tidak bermanfaat. Ada beberapa poin yang bisa diambil untuk menjadi pertimbangan dan perbaikan. 

Seperti misalnya maklumat dari Edhy Prabowo, tokoh partai Gerindra yang menyatakan bahwa kedaulatan pangan masih jauh kenyataan. Dalam argumennya, petinggi partai oposisi itu mengatakan bahwa pemerintah belum mampu mengoptimalkan seluruh potensi dalam negeri yang dimiliki. Misalnya saja tentang pengembangan ternak sapi perah. 

Padahal pengembangan usaha industri sapi perah di Indonesia mempunyai prospek strategis untuk pengembangan SDM. Namun ironisnya, 70% bahan baku industri sapi perah berasal dari impor.

Jangankan oposan, kita yang tidak berpolitik pun bisa melihat bahwa ada inkonsistensi dalam tindak dan kebijakan pertanian kita. Itu terjadi akibat kelakuan Menteri Pertanian (Mentan) sendiri. 

Contohnya adalah persetujuan Mentan untuk impor beras padahal di sisi lain Kementan melansir data produksi beras yang terus meningkat. Misalnya potensi produksi beras akan terus meningkat. Pada Januari 2018 sebanyak 2.668.764 ton, Februari sebanyak 5.388.600 ton, Maret sebanyak 7.441.842 ton, dan April sebanyak 5.283.498 ton.

www.bisnis.com dengan edit pribadi
www.bisnis.com dengan edit pribadi
Sumber

Inkonsistensi lainnya oleh Mentan yang jadi pintu masuk kritik adalah soal impor jagung. 2016 lalu, Mentan Amran Sulaiman sudah mencanangkan berhenti impor jagung. Tapi 2018 kemarin, ia sendiri yang mengajukan impor jagung. Dan beberapa saat sebelumnya, Mentan sendiri yang mengklaim kita sudah swasembada jagung, bahkan bisa mengekspor ke Malaysia dan Filipina. 

Inkonsistensi semacam ini akhirnya membuat kesan tidak kompak sesama pembantu Presiden. Demi menghindarkan diri dari persepsi inkonsisten semacam ini, seharusnya Kementerian Pertanian kita lebih hati-hati dalam mengeluarkan data atau narasi. 

Akibat lain yang muncul dari inkonsistensi itu adalah kecurigaan. Karena publik saat ini bisa saja menuntut penjelasan mengenai data-data surplus pangan, surplus beras, surplus jagung yang diumumkan Kementan.

Bisa saja terjadi markup data produksi pangan nasional oleh Kementan, karena kemarin mereka dikoreksi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), khususnya tentang surplus produksi beras. Selisih produksi beras antara Mentan dan BPS yang mencapai 43% itu dianggap tidak wajar. Bukan tidak mungkin, ada juga markup lain terkait sektor pangan. Seperti anggaran, jumlah bantuan bibit, atau luas lahan pertanian. 

Semua kemungkinan dan kecurigaan itu harus bisa dijawab. Agar pertanian kita tidak lagi jadi bulan-bulanan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun