Mohon tunggu...
iridious yuhanfelip
iridious yuhanfelip Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMA Seminari Mertoyudan, Magelang

Saya seminari Seminari Mertoyudan. Haus akan pengetahuan dan ingin mendalami dunia baca tulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lebih Manusiawi dalam Pendidikan

29 Oktober 2020   21:13 Diperbarui: 29 Oktober 2020   21:20 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

”Pengetahuan yang secara paksa dipompakan tak akan bertahan.”

Pernyataan Plato di atas dialami oleh banyak pelajar pada masa pandemi saat ini atau secara umum pada pendidikan di Indonesia. Seturut dengan pernyataan Amich Alhumami, dalam opininya di Koran Kompas (26/10/2020), bahwa belajar dari rumah telah memunculkan persoalan. Persoalan tersebut diantaranya: mengganggu kesehatan mental, menambah tekanan dan beban psikologis, meningkatkan stres dan depresi, baik bagi anak maupun orangtua, bahkan tindak kekerasan pada anak yang justru di lakukan orangtua sendiri.

Tekanan dan beban yang diterima oleh para pelajar berpotensi menggiring mereka ke situasi jenuh atau bosan. Hal itu bisa muncul dari banyaknya tugas dan materi yang harus dipelajari. Perampingan kurikulum atau lebih tepatnya pemangkasan materi belajar belum juga mencapai solusi terbaik bagi para pelajar dalam menimba ilmu. 

Di samping itu, pendidikan justru harus kembali ke tempat pertamanya yaitu rumah. Peran orangtua semakin berlipat ganda. Mereka tidak hanya “mencari nafkah”, namun sekaligus menjadi guru dadakan, sebab yang dapat ditanyai langsung adalah orangtua. Belum lagi kalau orangtua tidak mengetahui apa yang dipelajari anaknya, itu akan menyulitkan mereka sebab substansi pendidikan sendiri setiap tahunnya terus bertambah seiring dengan kebutuhan atau konsekuensi global.

Hal tersebut tentunya akan menjadi ancaman yang serius bagi generasi masa depan bangsa Indonesia. Keinginan untuk mencapai bonus demografi seakan-akan begitu ditekankan oleh pemerintah. Pemerintah seakan menduakan lingkungan pendidikan. Saat sekolah ditutup, kegiatan ekonomi terus berjalan dan di situ pula orangtua para pelajar berada. 

Padahal para pelajar sendiri harus memastikan dirinya tetap berada di rumah. Kemudian, setelah pernyataan sekolah mulai dibuka itu muncul, memang seolah-olah kita akan kembali pada situasi normal seperti hari biasanya di luar pandemi. Hanya saja, apakah dengan demikian akan menghapuskan tekanan dan beban bagi para pelajar?

Pelajar sebagai salah satu pelaku pendidikan perlu diperhatikan, sebab seperti yang dinyatakan oleh Prof. Dr. B. S. Mardiatmadja dalam buku “Komunitas Belajar” bahwapendidikan sekolah itu berpangkal pada murid, berbasis murid, dilaksanakan oleh murid dan pertama-tama demi kepentingan murid. Dapat kita lihat kembali keadaan pendidikan kita. Pendidikan di Indonesia karena adanya iming-iming bonus demografi justru mengarahkan pelajar ke dunia perokonomian. Pelajar belajar agar mereka memperoleh profesi dan bukan mencapai esensi dari pembelajaran itu sendiri.

Dikutip dalam buku “Pengantar Filsafat” karangan K. Bertens dkk., Peter Singer menyatakan bahwa pendidikan tak hanya melatih kita dalam profesi, tetapi memberi kita pondasi intelektual untuk digunakan seumur hidup, apakah kita memutuskan untuk memilih bidang kesehatan, hukum, bisnis, teknik atau kesempatan yang lainnya. 

Pondasi itulah yang semestinya menjadi fokus utama pembangunan sumber daya manusia (SDM) negara Indonesia, yang arahnya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan pertama-tama memperkaya perekonomian negara. Keuntungan ekonomi lebih merupakan buah yang pada saatnya akan muncul. 

Di sisi lain, tingat perekonomian yang tinggi juga perlu diimbangi dengan pola hidup yang baik dari masyarakatnya. Jika negara kaya, namun masyarakatnya hedon atau serakah atau tidak solider, akankah kekayaan itu menjamin kemajuan suatu negara?

Kearifan masyarakat perlu didalami lagi sebab gejala globalisasi semakin kuat terutama di kalangan kaum muda. Pengaruh iklan sudah menggiring minat para pemuda, belum lagi intensitas media sosial yang tak jauh dari genggaman seakan mematok langkah gerak kaum muda kita. Mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan berarti menggiring manusia ke kepentingan ekonomi semata. Manusia itulah yang pertama-tama hendaknya dihargai sebagai insan yang punya kemerdekaan dan kebijaksanaan akal budi dan hati nurani.

Manusia Pusat Pendidikan

Pembelajaran selalu terkait dengan manusia. Hal itu sudah jelas menempatkan tingkatan derajat manusia yang luhur. Pendidikan dalam lingkungan sekolah pun perlu menjadikan manusia sebagai pusatnya. Diperlukan pendidikan yang lebih manusiawi. Pendidikan macam itu disebut humaniora. Ini bukan sesuatu yang sulit dijangkau. 

Menurut Martha Nussbaum, filsuf Amerika, pendidikan humaniora dimulai dengan sekolah dasar dan menengah yaitu dengan pelajaran sejarah, ilmu bumi dan sastra atau kegiatan seperti menulis cerita, menggambar, maupun mempraktekkan musik. Hal semacam itu justru semakin jarang diminati pelajar padahal humaniora semacam itu juga penting.

Prof. Dr. B. S. Mardiatmadja menyampaikan bahwa ada tiga prinsip yang disumbangkan humaniora kepada proses pendidikan. Pertama, dalam proses pengembangan “pikiran dan hati” harus berjalan bersama sebagai bagian kemanusiaan yang berkaitan. Kedua, peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan abadi, di samping hal-hal yang secara kontekstual dihargai pada setiap budaya tertentu. Ketiga, dalam pendidikan harus ada kerja sama erat antara pendidik dan peserta didik serta antara teori dan praksis.

Dalam kenyataannya saat ini, praksis justru makin sulit. Namun itu tidak menghapus kesempatan untuk belajar. Justru di sinilah kita dapat memanusiakan para pelajar dan sembari itu berlangsung, pemerintah dapat menemukan jalan baru bagi pendidikan kita. Kita perlu menyadari pula bahwa pendidikan bukan sesuatu yang bisa dikebut cepat, ia harus melalui proses.

Disamping pengetahuan bertambah, keterampilan manusianya juga perlu digali. Kemajuan teknologi saat ini berpotensi menjauhkan pelajar dari belajar melalui proses, seperti membuat cerita tak lagi lewat coretan kertas padahal tulisan juga menjadi bentuk lain dari pengejawantahan karakter seorang, seperti dalam ilmu grafologi. Berkomunikasi dengan media sosial bisa menurunkan kemampuan pelajar untuk mengemukakan pendapatnya secara langsung. Hal itu perlu ditanggapi dengan penyediaan wadah bagi pelajar.

Kita dapat memulainya dengan kombinasi dalam belajar. Kurikulum dipadukan dengan eksplorasi para pelajar yang tetap mendapat tuntunan. Perkenalan dan pembiasaan dengan pengetahuan di luar pembelajaran sekolah perlu dilakukan. Hal itu akan membuka ruang belajar seperti mengetahui sastra, sejarah, tokoh inspiratif dan berita aktual. Itu dapat dilakukan dengan membaca. 

Dari situ pula, pelajar bisa menemukan minatnya yang sebenarnya, terlepas dari arus global yang seolah memukul rata semuanya. Pelajar tidak lagi dipaksa mengikuti kurikulum yang membebani namun dapat mengembangkan dirinya yang otentik dalam artian memiliki minat yang beraneka macam. Namun hal itu tidak juga menyingkirkan pembelajaran yang lainnya. Pelajar juga perlu mengenal ilmu di bidang lainnya supaya mereka juga terbiasa dengan persoalan kompleks yang umumnya harus diselesaikan dengan kaca mata lintas ilmu.

Dengan demikian kita tak hanya mengejar bonus demografi, namun lebih dari itu mencapai generasi emas Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun