Mohon tunggu...
Irandi P. Pratomo
Irandi P. Pratomo Mohon Tunggu... -

Medical Doctor, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia (2008); Resident, Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Persahabatan General Hospital-Faculty of Medicine, Universitas Indonesia (2009 - 2012); Research Student & PhD Candidate, Hiroshima University (2012 - present)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Flek Paru : TB or not TB?

4 Juli 2013   14:27 Diperbarui: 4 April 2017   17:27 21795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto toraks normal tanpa flek

(Tulisan ini telah sebelumnya dipublikasi oleh penulis yang sama di http://www.bukamatadantelinga.com/) Pendahuluan Sering kita mendengar istilah flek paru baik dari ucapan pasien maupun dari sejawat dokter. Skenario yang sering terjadi adalah pasien konsultasi ke dokter dengan keluhan batuk kronik, batuk yang sudah berlangsung lama hingga hitungan mingguan sampai tahunan. Lebih sering lagi ketika pasien datang dengan keluhan batuk darah. Dokter kemudian biasanya melanjutkan dengan pemeriksaan radiologis/röntgen berupa foto toraks atau bahasa Inggrisnya “chest x-ray”. [caption id="" align="alignnone" width="300" caption="Foto toraks normal tanpa flek"][/caption] Hasil fotonya kemudian dibawa kembali ke dokter, tampak ada bercak putih di bayangan paru, kemudian dokter biasanya akan bilang, “Anda terkena flek paru”. Tidak menutup kemungkinan setelah itu pasien langsung diberi obat yang musti diminum selama minimal 6 bulan, yaitu obat anti-tuberkulosis (OAT). Seolah-olah flek paru berarti penyakit tuberkulosis (TB). Sementara itu, istilah flek paru ternyata tidak harus berarti penyakit TB dan pemeriksaan TB tidak berhenti sampai di foto toraks hingga seseorang bisa dikatakan TB. Tulisan ini mencoba membuka wawasan bagi sejawat dan masyarakat mengenai istilah flek paru, apakah berarti TB atau bisa bukan TB. Flek Paru dan Jaman Kolonial Belanda Flek paru bila kita intip ke dalam buku besar diagnosis penyakit,International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) versi 10 tahun 2010 oleh World Health Organization (WHO), ternyata tidak ada. Direktori diagnosis penyakit ini padahal menjadi pedoman nama diagnosis di berbagai negara termasuk Indonesia. Istilah flek paru pun diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris hanyalah “lung spots,” bercak paru. Lalu apakah yang dimaksud dengan flek paru? Pemakaian istilah flek paru secara historik berasal dari jaman dokter pra-kemerdekaan, ketika Belanda kolonial masih menduduki Indonesia. Ketika itu teknologi radiodiagnosis telah tersedia sehingga pemeriksaan foto toraks sudah memungkinkan. Istilah bercak dalam bahasa Belanda adalah “vlek”. Dikatakan “vlek” ketika terdapat bercak putih dalam temuan radiodiagnosis. “Vlek op de longen” adalah ketika terdapat bercak putih pada foto toraks. Ketika itu masih ada wabah putih atau “white plague” pada akhir abad ke-19 terutama di Eropa, yang diakibatkan oleh TB. Sehingga pengalaman klinis para dokter kala itu mungkin menunjukkan bahwa “vlek op de longen” seringnya adalah TB. Itu satu abad yang lalu. [caption id="" align="alignnone" width="240" caption="Foto bercak/flek paru"]

Foto bercak/flek paru
Foto bercak/flek paru
[/caption] Hingga 2013, Robert Koch telah berhasil mengidentifikasi kuman TB, pemeriksaan dahak dengan metode pewarnaan basil tahan asam (BTA) telah berkembang, pemeriksaan biomolekular TB telah berkembang hingga deteksi gen yang spesifik TB, dan WHO melalui International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah membuat standar diagnosis. Bila dirangkum dari kedua sumber standar diagnosis tersebut maka diagnosis TB adalah harus berdasarkan gejala klinis, foto radiologis dan bakteriologis serta pemeriksaan laboratorium lain bila perlu, kemudian diobati berdasarkan panduan yang ada. Flek Paru pada Pemeriksaan Radiologi sebagai Diagnosis? Apakah Dibenarkan? Pedoman Nasional Tuberkulosis dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 bahkan menyebutkan secara tegas bahwa: “Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis”. Bercak putih pada bayangan paru dalam foto radiologis bukan hanya pada TB saja. Dokter ketika berhadapan dengan pasien yang memiliki hasil foto toraks yang tidak normal, harus memastikan apa penyakit yang diderita oleh pasien karena diagnosis tidak boleh hanya mengandalkan foto toraks, apalagi hanya dikatakan flek paru. Pemeriksaan lain seperti periksa bakteri dahak dan laboratorium darah bila ditujukan untuk mengerucutkan kemungkinan diagnosis maka harus dilakukan. Apabila dokter berhasil menguatkan dugaan bahwa flek paru itu adalah TB, maka dokter wajib bekerja sesuai standar, yaitu mengutip Standar Diagnosis 2 dari ISTC: “Setiap pasien (dewasa dan anak yang bisa mengeluarkan dahak) yang diduga menderita TB paru harus diperiksakan dahak untuk TB sedikitnya 2 kali di fasilitas yang memadai dan diupayakan sedikitnya 1 kali diambil pagi hari”. Pemeriksaan dahak saat ini bukan hal yang sulit, bahkan di tingkat puskesmas dan laboratorium swasta kecil bisa melakukan hal ini. Sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak memeriksa dahak untuk dugaan TB. Sudah saatnya istilah flek paru, sebagai pengganti kata TB, hilang dari muka bumi. Pastikan dan katakan TB bila itu TB, pastikan dan katakan bukan TB bila itu bukan TB. Apakah yang akan terjadi bila seseorang diobati sakit TB padahal tidak terbukti bahwa ia menderita TB? (Uraian lengkap artikel ini dapat dibaca di http://www.bukamatadantelinga.com)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun