Mohon tunggu...
Ircham Arifudin
Ircham Arifudin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer Brebes Club (KBC-53): penulis receh sekaligus penikmat kopi tanpa gula

menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bada Kupat, Ikon Syawalan di Jatibarang

31 Mei 2020   20:06 Diperbarui: 2 Juni 2020   02:25 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan Kupat bersama (Dokpri)


Di Indonesia ada sebuah tradisi yang selalu dilakukan setiap tahun setelah perayaaan Hari Raya Idul Fitri, tradisi ini dikenal dengan sebutan Syawalan. 

Syawalan merupakan tradisi /adat kaum muslim yang diawali dengan melakukan puasa sunnah selama enam hari berturut-turut setelah hari raya 'Idul Fitri yakni pada hari kedua sampai hari ketujuh dari Bulan Syawal, dan diakhiri sebagai puncaknya pada hari kedelapan dengan acara silaturrahim dengan para tetangga dan sanak famili.

Puasa enam hari merupakan amalan bagi sebagian muslim, hal ini didasarkan kepada hadits Nabi SAW yang artinya "Barang siapa berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadlan dan diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa sepanjang tahun".

Tradisi syawalan ini sering disebut juga dengan istilah Bada Kupat (Lebaran Ketupat), dinamakan Bada Kupat karena pada tradisi ini disediakan Kupat (makanan yang terbuat dari bahan dasar beras, semacam lontong), yang disuguhkan dengan perpaduan bumbu-bumbu lainnya. 

Namun kata kupat sendiri disamping bermakna suatu jenis makanan, dalam filosofi jawa memiliki makna khusus, Kupat merupakan kependekan dari "Ngaku Lepat dan Laku Papat". Ngaku Lepat artinya mengakui kesalahan, sedangkan laku papat artinya empat tindakan.

Sowan kepada Kyai Sepuh (Dokpri)
Sowan kepada Kyai Sepuh (Dokpri)
Ngaku Lepat pada umumnya diimplementasikan melalui tradisi sungkeman bagi orang jawa. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan, dan ampunan orang lain. 

Sedangkan Laku Papat (empat tindakan) yakni Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan. Lebaran berarti sudah selesai, menandakan telah berakhirnya waktu puasa. Luberan berarti meluber/melimpah rezekinya, ajakan untuk bersedekah kepada kaum miskin/yang kurang mampu. 

Leburan berarti sudah habis dan lebur, maksudnya dosa dan kesalahan akan melebur, habis dikarenakan setiap muslim dituntut untuk saling memaafkan satu sama lainnya. 

Dan Laburan yang berasal dari kata labur/memutihkan, dulu orang jawa melabur dengan menggunakan kapur untuk memutihkan dinding/tembok, maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin.

Tradisi, adalah adat kebiasaan yang dilakukan turun-temurun (dari zaman leluhur /nenek moyang) dan masih dilakukan dalam suatu masyarakat yang di setiap suku /tempat berbeda-beda (J. S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2003, hal. 349). 

Hal atau isi sesuatu yang diserahkan dari sejarah masa lampau dalam bidang adat, bahasa, tata kemasyarakatan, keyakinan, dan lain sebagainya, maupun proses penyerahan atau penerusan kepada generasi berikutnya (Ensiklopedi Indonesia, Jakarta : PT. Ichtiar Baru - Van Hoeve, 1984, hal. 3608). 

Tradisi mempunyai makna yang hampir sama dengan budaya /kebudayaan dan adat. Budaya /kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Sedangkan adat adalah aturan (perbuatan, tindakan dan sebagainya) yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala.

Syawalan, berasal dari kata Syawal, yaitu bulan kesepuluh dalam perhitungan tahun Hijriyyah (Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,...). Disebut dengan syawalan karena tradisi tersebut dilaksanakan pada bulan Syawal.

Syawalan merupakan suatu acara tradisional masyarakat di beberapa daerah (Kaliwungu Kendal, Krapyak Pekalongan, Buntet Pesantren Cirebon, dan lainnya) yang diselenggarakan satu minggu setelah hari raya Idul Fitri, tepatnya tanggal 8 bulan Syawal. 

Tradisi syawalan diawali dengan masyarakat melakukan puasa sunnah selama enam hari berturut-turut setelah hari raya 'Idul Fitri yakni pada hari kedua sampai hari ketujuh dari Bulan Syawal, dan diakhiri sebagai puncaknya pada hari kedelapan (tanggal 8 Syawal) dengan acara silaturrahim dengan para tetangga dan sanak famili. 

Tradisi syawalan biasanya  dilakukan oleh setiap orang yang berpuasa selama enam hari tersebut dalam rangka mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan.

Ketupat yang akan disajikan (Dokpri)
Ketupat yang akan disajikan (Dokpri)
Menurut cerita turun temurun dari para orang tua kami, syawalan/bada kupat di Jatibarang (zama dulu) pernah menjadi tradisi yang dilakukan masyarakat sekitar, namun seiring perubahan zaman tradisi tersebut semakin hilang, meskipun sebagian masyarakat Jatibarang sekarang masih melakukan puasa enam hari setelah idul fitri. 

Pada tahun ini bertepatan dengan Syawal 1441 Hijriyah, atas arahan dari Kyai Sepuh yang mendambakan tradisi syawalan/bada kupat dilestarikan kembali.

Dan..., alhamdulillah pada hari minggu pagi tadi tanggal 8 Syawal/31 Mei 2020 bertempat di Madrasah Baitussa'adah Jatibarang Lor telah dilaksanakan kembali kegiatan syawalan/bada kupat yang diawali dengan pembacaan maulid dibah.

Lalu, dilanjutkan dengan tahlilan dan diakhiri dengan makan ketupat bersama (seluruh tamu yang hadir). Setelahnya, bersama-sama bersilaturrahim (sowan) ke Kyai Sepuh. 

Pembacaan maulid dan tahlilan (Dokpri)
Pembacaan maulid dan tahlilan (Dokpri)
Substansi dari tradisi ini bukanlah terletak pada makan ketupatnya, akan tetapi lebih pada perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT sekaligus untuk mempererat tali silaturrahim dan  menjaga ukhuwah Islamiyyah antar sesama masyarakat Jatibarang. 

Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan, tradisi Syawalan sebagai 'urf itu tergolong kepada 'Urf fi'li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam bentuk perbuatan/tindakan.

Tradisi Syawalan juga digolongkan kepada Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang luhur.  

Bahkan, karena tradisi Syawalan ini adalah sebuah tradisi yang baik, maka tradisi ini termasuk tradisi yang perlu dilestarikan /tidak ditinggalkan. Wallahu a'lam...

KBC-53

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun