Gandeng Tangan Pahlawan Pangan
Selamatkan Petani, mereka adalah sumber daya yang menghidupi manusia yang juga mereproduksi manusia menjadi makhluk yang bermartabat dan berguna bagi nusa dan bangsa.Â
Dari dulu hingga kini, belum ada sejarah buruh, nelayan, dan petani Indonesia yang makmur dan sejahtera. Yang ada mereka hanya ditunggangi untuk memenuhi kotak suara saat orasi pemilihan umum yang dibalut dengan obral janji berupa "kesejahteraan dan kemakmuran".
 Lebih tepatnya, mereka adalah kalangan yang paling menguntungkan untuk meningkatkan elektabilitas dari pada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.Â
Kalau saya menilai, tiga elemen di atas adalah kalangan yang paling menjanjikan untuk mengeruk keuntungan. Ini bukan bukan fiksi, tapi nyata. Titik. Tanpa koma.
 Menjadi petani memang bukan pekerjaan yang menguntungkan. Hal ini semakin jelas dengan konotasi dari waktu ke waktu yang menganggap bahwa petani bukan profesi yang menjanjikan dalam jangka panjang.Â
Selain persedian musim yang harus disesuaikan, petani dianggap sebagai pekerjaan yang rendah. Bisa disebut petani termasuk komunitas pekerja kasar dan serabutan.Â
Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan kita lebih banyak ditopang oleh produktivitas petani. Kebutuhan swasembada seperti padi, jagung, dan material pokok lainya dari mana lagi kalau bukan dari para petani.
Sayangnya, pekerjaan yang khas dengan lumpur ini kurang mendapat perhatian serius baik dari pemerintah atau topografi masyarakat masa kini. Sementara, pemerintah juga lebih memprioritaskan bahan pangan dari luar negeri (import) ketimbang negeri sendiri.Â
Ini merupakan potret miris bagi nasib petani, di mana mereka yang bersusah payah memproduksi swasembada pangan tidak dihargai dan diperhatikan oleh negeri sendiri.Â
Hal ini semakin diperburuk dengan asumsi dan stigma masyarakat modernisme yang menempatkan petani sebagai komoditas yang tidak menjanjikan di zaman milenial.