Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polemik Cyber Society dan Anarchy Society

21 Juni 2020   20:49 Diperbarui: 21 Juni 2020   20:46 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Anak-anak yang lahir tahun 1998 keatas mendominasi percakapan orde baru, karena saat ini mereka ada dalam pusaran mahasiswa. Mereka mendapat gelar oleh Cyber Sociecty Academy dengan titlle SJW. Pengujinya adalah mereka lulusan BuzzerRP University.

Fenomena SJW, Buzzer dan kadrun mewarnai romantika antar lintas sosial media. Di Instagram dan Twitter, tapi yang saya amati dan saya temui adalah Twitter. Belum lama ini SJW dikritik oleh para buzzer karena #PapuanLivesMatter. Kadrun atau kadal gurun juga sangat kental kaitannya dengan penolakannya terhadap PKI. 

Diskursus RUU HIP dengan argumentasi yang kurang jelas ini muncul dan mengaitkan RUU HIP dengan kebangkitan PKI dan diasosiasikan dengan partai politik tertentu. Seorang Sosialis, Islamis dan Nasionalis sangat mendominasi perbincangan selama pandemi di jagat Twitter. Argumentasi-argumentasi SJW dan Kadrun ini ditentang oleh agen pembenaran yang mendukung seratus persen langkah dan kebijakan pemerintah. 

Para buzzer cepat-cepat memburu siapa yang menjadi perusuh di media sosial ini atau siapa yang menyuarakan kebenaran dengan lantang maka akan diburu bahkan difitnah, seperti kasus yang menimpa komedian Bintang Emon.

Syarat menjadi SJW, Buzzer, Kadrun adalah memahami konteks dan isu dari kebijakan pemerintah. Semuanya berperang karena kebijakan pemerintah. Pro dan kontra itu biasa terjadi di masyarakatpun, tapi lagi-lagi yang bahaya adalah ketika gerakan cyber ini sudah dijangkiti oleh informasi yang mengada-ngada, maka pemikiran yang kritis tidak lagi jadi dominasi. 

Mereka hanya digerakan oleh asumsi dan emosi, yang berujung pada ikut-ikutan saja. Karena memiliki satu ketertarikan sama lain. Kalau di Twitter kita dengan mudah me-retweet sementara di Instagram kita tinggal memposting ulang di Instastory. Itulah gaya baru aktivisme yang lagi populer saat ini. 

Berbeda dengan perang SJW, Buzzer dan Kadrun; seorang pemain RP lebih memilih perang dengan orang yang  toxic atau Snobis. RP ava Kpop melawan Jerinx karena jerinx mengkritik dengan sadis Kpop. Dengan massa yang banyak mereka juga merubah tagar yang rasis dengan power dan solidaritas mereka. Seperti kasus #whitelivesmatter dikalahkan dengan #bluelivesmatter. Panjang umur perlawanan, deh pokoknya.

Dibalik ikut-ikutan atau poser, tapi esensi dari serangannya sama itu tidak menjadi soal. Menjadi soal adalah ketika dia tidak mencari tahu permasalahannya. Dari ikut-ikutan bisa menjadi tahu dan pemikiran mereka menjadi kritis. Seharusnya pikiran kritis tidak dikendarai oleh ideologi apapun. Timbulnya dari empati dan simpati manusia itu sendiri. 

Tapi memang brutalnya dunia politik dunia, hal yang baik bisa jadi buruk -- begitu pun sebaliknya. Brutalitas dunia politik sampai memasuki media sosial, sehingga media sosial tidak lagi menjadi media yang anarchy lagi, ada UU ITE yang bisa memenjarakan kamu kalau kamu benar dan dinilai salah oleh mereka yang pikirannya dikoyak-koyak kepentingan.  Dunia maya merupakan dunia hiper realitas, tapi ingat kata Pram, kau terpelajar, harus sudah adil sejak dalam pikiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun