Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polemik Cyber Society dan Anarchy Society

21 Juni 2020   20:49 Diperbarui: 21 Juni 2020   20:46 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seberapa aktifnya kamu bermain Instagram, Twitter, atau TikTok? Apakah sehari saja tidak membukanya akan mengganggu kehidupanmu atau malah jangan-jangan kita tidak akan pernah bisa lepas dari media sosial. Apalagi disaat kondisi lagi pandemi begini, memaksa kita mau tidak mau menuntut untuk terus aktif di media sosial. 

Indonesia merupakan negara pengguna media sosial paling banyak di dunia, oleh karena itu kegiatan bermedia sosial jika dibatasi akan banyak menggangu kelangsungan hidup hajat orang banyak.

 Media sosial selayaknya media dalam konteks modernisme membantu mempercepat dan memudahkan orang berkomunikasi dan menyampaikan informasi. Problemnya adalah ketika informasi yang menyebarluas itu palsu dan menggiring opini masyarakat. Hoaks merupakan kekejaman yang datang untuk merusak khasanah media sosial yang baik. 

Munculnya perang argumentasi tanpa argumentasi menimbulkan polemik baru di belantara cyber society. Selaras dengan teori kritik terhadap modernisme, yaitu semakin maju suatu peradaban dan teknologi semakin canggih, manusia semakin dihadapkan pada kemunduran metode berpikir, kemunduran moral atau yang kita sebut dekandensi.

Cyber Society di Indonesia atau yang populer disebut netizen, kadang penyebutan nyelenehnya 'netijen' terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok yang identik dengan dunia darkside yang berisi semua darkside atau yang berisi prasangka manusia dalam Twitter banyak ditemukan akun-akun ini  bersembunyi dibalik foto orang yang bukan dirinya yang banyak ditunjukan untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan seperti sering ditemukan oleh saya kata-kata yang menyimpang dari norma kesopanan dan nilai kultur agama. 

Ditemukan juga kelompok yang memakai foto profil orang terkenal dan merubah namanya seperti orang tersebut kemudian dia bergerombol dan berkerumunan untuk menyerang bersama-sama apa yang menjadi kontra dalam diri mereka.

Dijagat Twitter dan media sosial lainnya ditemukan modelan akun yang baru saja disebut sebelumnya dengan sebutan Role Player. Diungkapkan salah satu penggiat Role Player atau mereka menyebutnya RP, banyak hal positif dan hal negatif yang terjadi saat bermain RP. Positifnya, kalau kita bermain RP kita bisa bersekolah, ke bar dan lain sebagainya. 

Sialnya, kalau kita hanya dijadikan objek untuk mantap-mantap saja oleh oknum RP. Salah satu aktor RP, mengungkapkan kalau orang toxic bisa dilaporkan oleh kepolisian setempat. Ya, memang tidak mudah diterima oleh akal sehat. Tapi ini dunia cyber, seorang hacker bisa mengetahui alamat rumah, tetangga, dan teman anda kalau suatu ketika anda menjadi toxic di dunia RP. Untuk lebih jauhnya soal RP, perlu dikaji dan dianalisis lebih dalam lagi.

Suatu masyarakat tanpa aturan atau bisa disebut Anarchial Society yang oleh teori libertarianisme dipelajari dalam studi Hubungan Internasional bisa terjadi di jagat maya. Akan tetapi, UU ITE yang banyak dikritik karena pasal karetnya yang memungkinkan siapa saja bisa kena dan menjadi delik. Alih-alih untuk melindungi  warga negara dari cyber-bullying UU ITE ini kerap dipakai memberhentikan kritik karena hal yang politis. 

UU ITE ditangan sang opreser bisa sangat opresif. Banyak problematika, yang terjadi ketika seorang Rocky Gerung melontarkan kata dungu di Twitternya membuat segelintir masyarakat menafsirkannya sebagai hinaan. Tahun politik 2019 menjadi tahun panas bagi sebagian orang karena banyak mendapatkan tuduhan hatespeech. 

Perang tagar terjadi sangat panas dan terlihat dimobilisasi oleh dua kubu. Antara cebong dan kampret kini paska brutalnya tahun politik tetap saja masih ditemukan kelompok cyber-society yang mendapat nama kadrun. Kemudian kelompok yang aktif mengkritik kebijakan pemerintahan saat ini dengan gaya dan metode berpikir ala marxist, sosialis, dan selalu mengaitkan masalah saat ini dengan rezim otoriter orde baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun