***
Bangun-bangun sudah jam lima sore saja. Seperti manusia modern abad 21 pada umunya, mengecek hp-nya walau tidak ada yang istimewa. Mulai dari WA, IG, Twitter sampai Tinder tamat. Tapi, saat buka tinder aku berharap bertemu jodoh, tapi kenyataanya tidak ada satupun. Walau ada yang match, kadang aku tidak tertarik dan tidak memiliki suatu percakapan basa-basi untuk memulainya mengajak kencan.
Aku maunya, langsung mengajak bertemu langsung tanpa basa-basi. Toh, pada dasarnya kita mencari pasangan. Tapi banyak yang iseng main-main saja padahal sudah beristri atau punya pacar. Sungguh dunia ini kalau dihuni oleh orang yang begitu tidak akan pernah bisa bahagia hidupnya.
Sebelum kembali mandi, aku membeli sampo dulu di warung Mpok Nani. Sampo sachetan-an. Cukuplah untuk kebutuhan sampoan sampai hari rabu. Lagi pula harganya murah, terjangkau untuk semua kelas pekerja.
"Mpok, sampo, sunsilk."
"Kayak perempuan lu, ini ada clearman"
"Ini wanginya enak, Mpok."
Tak banyak cakapku dengan Mpok Nani. Dia warung terbaik yang pernah aku temui di alam raya ini. Karena bisa dihutang. Bagiku, warung yang bisa dihutang adalah warung baik. Tapi, warungnya Mpok Nani yang terbaik untuk jagat raya ini.
Ku segayung air, ku isi kepada semprotan. Lalu aku mulai menyemprotkan kaktus-katusku yang sudah tiga hari tidak aku siram. Setalah puas menyiram, aku bergegas mandi karena takut keburu banyak yang mengantri.
Kota besar bukanlah kebaikan tapi belum tentu kejahatan. Mpok Nani adalah salah satu kebaikan yang tertanam di kota besar beserta para peminjam hutang lainnya.Â
Mpok Nani adalah penyelamat aku dikala lapar mewabah pikiran. Bagiku mesias sesungguhnya adalah para Mpok Nani yang memberi hutang tanpa pernah menagih dan selalu baik walau aku membayarnya kadang telat sampai hampir aku lupa.