Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Saat Kecantikan Dieksploitasi, Padahal Semua Berhak Cantik

16 Maret 2020   14:51 Diperbarui: 17 Maret 2020   18:07 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tampil cantik. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Saya berpikir menyebut kaum hawa dengan sebutan wanita adalah sebutan yang merendahkan derajatnya di dalam kehidupan bermasyarakat, mengapa. Karena saya pernah mendengar dan membuktikan arti dari wanita. Sebutan wanita sama sekali tidak menunjukan tingkat kedewasaan. 

Dalam bahasa jawa wanito artinya wani ditoto (berani ditata/mau diatur). Diatur oleh siapa, yang pasti diatur oleh laki-laki. Jadi disini saya ingin menjelaskan bahwa saya menyebut kaum hawa dengan sebutan perempuan. Ini hanya sedikit intermezo dari singkatnya pembahasan saya mengenai eksploitasi kecantikan di era posmodern.

Perempuan sering mendapat perhatian lebih dari banyak pihak namun perhatian tersebut tendensius kearah estetika dari entitas perempuan sebagai manusia. Sedikit sekali yang memandang perempuan dari cara atau sudut pandang selain materelistis. Nah, itu yang jadi pembahasan utama. 

Dengan menyebarnya stigma bahwa perempuan sangat erat hubungannya dengan pandangan yang serba materialistik menjadikan perempuan tidak bisa berkembang sejak zaman dahulu. Baru-baru inilah peran perempuan dalam membangun pola pikir lebih diperhatikan oleh para pihak. 

Seperti kita ketahui filsuf eksistensialis pertama Simon De Beavoir, perempuan anarko Emma Goldman, Marsinah, dan lain-lain yang membawa pengaruh terhadap perkembangan pemikiran. 

Namun lagi-lagi pemikiran itu adalah bentuk perlawanan terhadap kapitalisme dan pada akhirnya kapitalisme terus berdiri tegak diatas paham-paham yang memberontaknya.

Pengaruh besar kapitalisme dalam menjaga stigma bahwa permpuan harus selalu materialis adalah dengan menjaga estetika dari supremasi kulit putih. 

Jadi, perempuan cantik itu adalah perempuan yang berkulit putih. Bisa kita lihat iklan-iklan kecantikan selalu mendiskriminasi bahwa perempuan yang tidak putih adalah perempuan yang tidak cantik. 

Apalagi zaman sekarang adalah zamannya K-pop, perempuan mendambakan kecantikan ala-ala orang Korea. Belum lagi Korea telah menjual tren baru yaitu laki-laki sudah tidak malu lagi membeli skincare. Padahal hal-hal seperti itu bukanlah hal yang seharusnya menjadi tabu apabila pemikiran-pemikiran Feminisme berkembang disuatu negara.

Ketika kapitalisme sudah menjual kecantikan demi laba sebanyak-banyaknya maka ada pemikiran konservatif yang secara fisik terlihat maju itu dipelihara dan dirawat demi keberlangsungan perempuan itu di dapur, sumur, kasur.

Dibeberapa negara maju dalam bidang fesyen sudah mulai menggunakan model kulit hitam, bertubuh gemuk, atau bertubuh pendek untuk mendekonstruksi kecantikan. 

Saya memakai objek dari postingan Instagram @Gucci yang di-unggah pada tanggal 9 Mei 2019. Mereka menampilkan perempuan yang bertubuh gemuk dan bertubuh pendek dan mengenakan busana dari katalog mereka. 

Perusahaan fesyen asal Italia ini nampak ingin membentuk asumsi masyarakat melalui media sosial bahwa kecantikan itu bisa dari mana saja asal ia bisa membentuk diri yag menarik. 

Model nampak bahagia dengan raut wajah senang dan tampak seperti berpose. Kecantikan dalam sudut pandang cara berpenampilan adalah tidak mengubah cara berpikir materialis. Tetap saja perempuan terus digiring sudut pandangnya agar selalu berpandangan materialis.

Kapitalisme berkembang pesat dan berada dipuncaknya. Kecantikan terus dieksploitasi sampai pada titik cantik itu habis. Dengan segala strategi pemasaran perempuan terus selalu digiring opininya supaya tunduk pada nilai-nilai tinggi dari estetika. Pandangan mereka terhadap perempuan tak lebih dari keindahan dan kemanfaatan. 

Sasaran mereka adalah laki-laki mata keranjang yang tidak kuat memandang keindahan. Kalau dianalogikan mereka adalah seni modern yang sangat patuh terhadap estetika sedangkan pemikiran sudah sampai pada pemhaman estitaka telah mati dan kita harus mencari kematian estetika dengan menggantinya sebagai makna dengan ilmu-ilmu hermeneutika. 

Jadi seharusnya kecantikan itu didekonstruksi menjadi sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan. Wujud dari emansipasi tidak mentok pada sektor keprofesian melainkan juga pada sektor kecantikan yaitu nilai subjektif. 

Hematnya adalah siapa saja boleh menjadi cantik tanpa harus mengubah dirinya menjadi orang lain. Siapa saja berhak indah tanpa harus jadi yang indah. Yang indah adalah yang ditampilkan oleh iklan-iklan di televisi, internet maupun media sosial.

Di Indonesia yang mayoritas Islam mungkin sangat menentang eksploitasi kecantikan tapi kita tidak bisa berpaling dari budaya patriarki dari kalangan umat Islam. 

Meski semangat emansipasi tumbuh dari bibit-bibit muslim libertarian namun kita tidak bisa melawan apa yang kebnyakan orang yakini sebagai kebenaran dan sengsaranya kita berada di keluarga, lingkungan, daerah dan negara yang meyakini kebenaran itu.

Pada akhirnya saya harus menyimpulkan bahwa ekspoitasi kecantikan ini akan terus ada dan berbagai cara hadir dalam sudut pandang posmodern. Suatu saat nanti kecantikan akan usai pada masyarakat yang meyakini bahwa seluruh manusia berhak cantik baik laki-laki ataupun perempuan. Ya, itulah paham dari gerakan Feminisme. 

Perempuan sudah lama sakit hati oleh kitab Hammurabi, perempuan jangan dibuat lebih sakit dengan mengatasnamakan pahala agar perempuan mau di poligami. Kecantikan tidak akan selamanya dimiliki perempuan kulit putih. Ingat semua berhak cantik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun