Dulu, kalau bukan karena sering kalah melawan AC Milan di gim Winning Eleven, saya tak akan mengenal dan jatuh cinta dengan Shevchenko, Inzaghi, dan Kaka. Lalu, kalau bukan karena mereka pula, saya pasti ogah nonton Milan saat bertanding.
Hingga akhirnya, usai membalas kekalahan atas Liverpool di Final Liga Champions Athena 2007, menjadi momen sakral saya memantapkan diri menjadi seorang milanisti. Namun, menjadi seorang fans Milan di era modern ini sungguh berat. Usai final 2007 itu, saya harus menunggu hingga tahun 2011 untuk bisa kembali melihat Milan mengangkat trofi, tepatnya trofi scudetto Serie A 2011. Â
Saya kira, era 2010-an saat Allegri jadi pelatih bakal jadi momen kebangkitan Milan di kancah eropa. Namun nyatanya, era tersebut jadi masa kelam dimulainya keruntuhan nama besar AC Milan di eropa bahkan Italia.
Hingga saat ini, trofi Serie A belum mampir lagi ke Casa Milan. Jangankan trofi Serie A, mendengar anthem Liga Champions berkumandang lagi di San Siro saja urung terjadi.
Tahun 2014 adalah tahun terakhir Milan menginjakkan kakinya di Liga Champions, kompetisi yang turut membesarkan nama si merah hitam itu. Sejak tahun itu, Milan hanyalah dikenal sebagai "raksasa yang jatuh" atau ada pula yang menjulukinya "raksasa yang tertidur".
Kini, di akhir tahun 2020, ada secercah sinar harapan bagi milanisti untuk sesegera mungkin melihat rossoneri bangun dari tidur panjangnya. Siapa sangka, tim yang beberapa musim lalu terancam bangkrut ini tengah memimpin klasemen Serie A hingga pekan ke-11.
Hanya 2 kata, Milan bangkit! Dan kebangkitan Milan tak lepas dari juru kemudi tim saat ini, Stefano Pioli. Pioli yang di awal penunjukannya hanya sebatas pelatih sementara justru membuktikan kapabilitasnya dan membawa Milan ke jalur juara.Â
Atas hasil racikannya di Milan, maka tak heran bila pelatih 55 tahun itu dianugerahi gelar pelatih terbaik Italia di tahun 2020 oleh surat kabar La Gazzetta dello Sport. Tak hanya memenangi laga lebih banyak dari pelatih lain, Pioli juga mengubah cara main Milan yang mengkhawatirkan menjadi meyakinkan.
Dulu, saat menonton Milan tanding, perasaan akan menang itu terasa jauh. Kekalahan adalah hal biasa dan membuang-buang poin adalah rutinitas para penggawa rossoneri. Kami, milanisti sudah akrab akan hal itu.