Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Surat Terbuka untuk Kawanku Mahasiswa Psikologi

23 Oktober 2020   08:55 Diperbarui: 24 Oktober 2020   16:33 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Holger Langmaier from Pixabay

Bagaimana bisa seseorang menilai orang lain tanpa kontak langsung dengan dirinya? Bagaimana bisa seseorang mendiagnosis orang lain hanya dengan melihat dan mendengar tanpa berbicara langsung? Bagaimana bisa seseorang melabeli orang yang bahkan tidak ia kenal?

Ironis, sebab orang-orang itu di luar sana berbicara soal bahayanya self diagnose, tapi dia sendiri dikit-dikit menilai, dikit-dikit mendiagnosis hanya demi kepuasan dan terlihat superior. Asyik, mungkin begitu pandangan mereka karena mereka bisa sekaligus praktik (praktik apanya?).

Ya, saya paham bahwa tidak semua mahasiswa psikologi seperti itu. Saya yakin hanya segelintir saja dan itu hanya oknum saja. Namun tetap saja, praktik semacam itu sangat menyebalkan.

Yang lebih menyebalkan lagi adalah orang lain seperti teman saya yang dengan awamnya meminta kepada mahasiswa psikologi kenalannya untuk membaca dan menilai orang lain. Dikit-dikit; "ayo dong baca aku, menurutmu aku gimana dan harus gimana?", "kalau orang itu gimana?, "kalau yang itu orangnya baik gak?".

Bagi saya, tindakan semacam itu termasuk perbuatan "membicarakan orang dibelakangnya" alias "menggunjing" atau bahasa halusnya "ghibah". Sebuah perbuatan keji nan berdosa dan sungguh saya sangat membencinya. Kalau pembaca bagaimana?

Ilustrasi sesi konseling psikolog klinis untuk bisa mendiagnosis pasien. | foto: alodokter.com
Ilustrasi sesi konseling psikolog klinis untuk bisa mendiagnosis pasien. | foto: alodokter.com

Dampak: Persepsi dan Trauma

Sejak kejadian di kantin itu, saya putuskan untuk menjauh dari kawan atau kenalan dari kalangan mahasiswa psikologi. Saya marah dan risih.

Setelah kejadian itu, teman saya jadi sedikit mempraktikkan ilmu menilai orang lain kepada kami teman-temannya. Dasarnya, ya hanya berdasarkan penuturan singkat si oknum mahasiswa psikologi itu.

Dari sini saja sudah terlihat efek buruknya. Penegakan diagnosis tidak bisa dilakukan hanya dengan modal "katanya". Dari satu kasus contoh ini saja sudah terjadi ajang ghibah berantai.

Kalau sudah ghibah berantai, apa bisa disimpulkan kalau bakal jadi dosa jariyah?

Bagaimana dengan saya? Setelah kejadian itu, selain menjauh dari pertemanan dengan mahasiswa psikologi, saya akhirnya jadi punya persepsi pribadi soal dunia psikologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun