Pemerintah Indonesia kembali menggulirkan kebijakan baru yang menuai kontroversi. Kali ini, fokusnya adalah pembentukan Danantara BUMN, entitas baru yang didesain untuk mengelola investasi negara melalui konsolidasi aset-aset BUMN strategis. Danantara diklaim sebagai langkah progresif dalam meningkatkan efisiensi, tetapi tidak sedikit yang mempertanyakan transparansi, akuntabilitas, serta legitimasi hukumnya.
Kehadiran Danantara mengubah struktur pengelolaan BUMN secara fundamental. Sebelumnya, dividen dari perusahaan-perusahaan pelat merah langsung masuk ke kas negara dan menjadi bagian dari APBN. Kini, skemanya diubah—dividen tersebut dikelola langsung oleh Danantara, yang bertindak sebagai superholding.
Kritik pun muncul dari berbagai kalangan, mulai dari ekonom, akademisi, hingga pakar hukum tata negara. Sejumlah pertanyaan mendasar mengemuka: Apakah model ini sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan negara? Sejauh mana pemerintah memiliki kewenangan hukum untuk mengalihkan pendapatan negara ke entitas tersendiri? Apakah skema ini berisiko membuka celah bagi monopoli dan oligarki ekonomi?
Artikel ini akan membahas berbagai tantangan hukum dalam kebijakan Danantara BUMN, mulai dari legitimasi hukumnya, dampaknya terhadap tata kelola keuangan negara, hingga potensi risiko monopoli yang dapat berimbas pada transparansi dan akuntabilitas sektor publik.
Landasan Hukum dan Legitimasi Danantara BUMN
Secara teori, kebijakan pemerintah dalam mengelola aset negara harus berpijak pada landasan hukum yang jelas. Namun, pembentukan Danantara masih menyisakan tanda tanya besar terkait dasar hukum yang menaunginya.
Regulasi yang Melandasi Danantara BUMN
Pemerintah mengklaim bahwa pembentukan Danantara memiliki dasar hukum yang kuat, dengan merujuk pada beberapa regulasi berikut:
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang mengatur bagaimana negara memiliki wewenang untuk mengonsolidasikan aset BUMN demi efisiensi.
- Undang-Undang Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003) yang menjelaskan bagaimana keuangan negara harus dikelola secara transparan dan bertanggung jawab.
- Peraturan Pemerintah terkait investasi dan pengelolaan aset BUMN yang menjadi pijakan teknis dalam operasionalisasi Danantara.
Namun, persoalan muncul ketika mekanisme pengalihan dividen BUMN ke Danantara dipertanyakan. Pasal 23 UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa setiap penerimaan negara harus masuk ke dalam APBN dan penggunaannya harus mendapat persetujuan DPR. Jika dividen BUMN yang semestinya menjadi pendapatan negara dikelola di luar mekanisme APBN, ada potensi pelanggaran terhadap prinsip konstitusional keuangan negara.
Tak hanya itu, skema ini juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan DPR sebagai lembaga pengawas keuangan negara. Jika tidak ada regulasi yang jelas, mekanisme pengawasan terhadap Danantara bisa menjadi lemah, dan ini membuka ruang bagi potensi penyalahgunaan wewenang.
Sentralisasi Aset BUMN: Reformasi atau Ancaman Monopoli Negara?