Mohon tunggu...
Irfan Ansori
Irfan Ansori Mohon Tunggu... Guru - Perbanyak Jejak Digital Kebaikan

Penulis | Pembelajar | Penyebar Kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Evie Effendi dan Masa Depan Penodaan Agama

29 Agustus 2018   19:55 Diperbarui: 29 Agustus 2018   20:09 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kehadiran pasal ini tidak lepas dari warisan hukum Belanda, kemudian atas desakan ormas Islam saat itu, pasal ini akhirnya diundangkan oleh Presiden Soekarno. Maka, perjalanan pasal ini cukup pelik dan sangat panjang, tidak hanya sebatas kasus Ahok semata.

Kasus "Unik"

Lalu mengapa kasus ust Evie wajib menjadi perhatian? Hal ini tidak lepas dari aspek keunikannya, bahwa yang diduga melakukan penodaan agama adalah seorang tokoh agama. Ya, tokoh agama.

Sebelum kita membahas "keustadzan" Evie Effendi, kasus penodaan agama (pada agama Islam) pada umumnya ditujukan kepada arus Islam yang terang-terangan "menyimpang". Contoh mengaku nabi, malaikat, meyakini adanya nabi setelah Muhammad SAW, serta penyimpangan pokok agama lainnya. Selain itu, dilakukan oleh penganut agama lain.

Bagaimana dengan pendapat keliru ust. Evie tentang kesesatan nabi Muhammad? Disinilah unsur subjektifitas pasal karet diuji.

Sebelum membahas konten ceramahnya, saya memiliki pengamatan menarik tentang kasus-kasus pasal karet. Pidana pasal karet bergantung pada dua hal: pertama, kepada seberapa kuat posisi/pengaruh kita; kedua, seberapa besar efek yang ditimbulkan.

Maksudnya begini. Baik kita berada di oposisi maupun pemerintah, jika anda memiliki loby yang kuat serta efek yang cukup kecil, maka anda mampu lepas dari jeratan pasal karet. Jika posisi anda lemah, tak peduli anda berada pada pihak mana, proses hukum anda pasti dilanjutkan.

Contoh sederhana begini, kasus Jonru dan Eggi Sudjana, keduan "tokoh" oposisi ini diadukan dengan pasal karet. Namun nasib keduanya berbeda. Jonru diproses, bahkan sampai vonis, namun tidak bagi Eggi Sudjana.

Juga pada kasus pendukung Jokowi. Seorang dokter biasa yang dianggap "menghina ulama" diproses, namun tidak bagi Rachmawati Soekarnoputri. Meski dalam kasus Ahok tetap diproses karena faktor efek besar yang ditimbulkan.

Maka, jika kita menghadapi kasus pasal karet: penekanan pertama, seberapa kuat anda? Seberapa banyak yang merasa terganggu?

Karenanya ada istilah bagi pasal penodaan agama: "menjaga perasaan ummat." Subjektifitas penegak hukum sangat bergantung pada efek yang ditimbulkan serta lobby terhadap kasus tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun