Hari itu, 21 April 2025, hati saya terasa runtuh. Paus Fransiskus, sosok yang baru tujuh bulan lalu saya lihat tersenyum dan menyapa puluhan ribuan umat di Jakarta, kini telah berpulang ke Rumah Bapa. Hari itu sungguh membuat patah hati dan patah semangat, tidak hanya bagi saya pribadi, tetapi bagi seluruh Gereja Katolik Indonesia yang masih menyimpan keharuman kenangan kunjungannya.
Bagaimana tidak kaget? Sehari sebelumnya, beliau masih berdiri di balkon Basilika Santo Petrus, memberikan berkat Urbi et Orbi. Tangan itu masih terangkat, suara itu masih terdengar, tetapi siapa sangka bahwa itu adalah berkat Paskah terakhirnya untuk dunia.
Kenangan tentang beliau menghujam ekstra dalam bagi saya. Masih teringat jelas bagaimana jantung saya berdegup kencang saat tak diduga, mendapat kesempatan bersimpuh di hadapannya pada 5 September 2024.
Saat itu, saya merasa tidak hanya bertemu dengan pemimpin Gereja Katolik sedunia, tetapi lebih merasakan dekapan hangat seorang bapak pada anaknya.
Saya masih ingat bagaimana tangannya dengan lembut menyentuh kepala saya. Dibalik kelembutan itu, terasa semangat beliau yang kokoh, walau kondisi perjalanannya harus dibantu dengan kursi roda. Sampai saya berpikir; beruntung sekali sang ajudan bisa selalu mendorong kursi roda Sri Paus. Pasti sang ajudan runtuh lebih dalam lagi hatinya saat Sri Paus wafat. Tak terbayangkan.
Tatapan matanya dengan penuh kasih menyemangati saya untuk teguh di jalan-Nya. Hingga kini pun, saya semangat untuk tetap teguh.
Kepergiannya di bulan April, tepat pada Senin Paskah, seperti menggoreskan luka kembali. Bulan Desember dan April kini benar-benar menjadi bulan yang menyimpan duka mendalam bagi saya.
Dua sosok kebapakan - Bapak biologis dan panutan rohani - keduanya dipanggil pulang pada waktu yang entah mengapa begitu serupa. Keduanya meninggalkan dunia pada hari yang dalam tradisi Gereja Katolik disebut sebagai Monday of the Angel - Senin Suci atau Senin Terang.
Kebetulan ataukah petunjuk Ilahi? Entahlah. Yang jelas keduanya meninggalkan dunia dengan cahaya Paskah yang masih berpendar. Paskah menjadi kian lekat dalam sanubari.
Saya masih ingat, ketika kabar kepergian beliau sampai ke telinga saya di sudut sebuah kota di Eropa Utara. Rasanya seperti angin dingin yang tiba-tiba menusuk hingga ke sumsum tulang, padahal udara di kota tersebut sedang menusuk dingin pula. Saat itu, walau saya sedang jauh, entah mengapa Tuhan mempertemukan saya dengan dua kesempatan istimewa: mengikuti Misa Requiem pertama di Saint Henry's Cathedral, Helsinki, bersama umat yang walaupun asing namun dipersatukan dalam duka yang sama, dan yang kedua di Saint Ansgar's Cathedral, Copenhagen, dipimpin langsung oleh Yang Mulia Mgr Czeslaw Kozon - Uskup Keuskupan Copenhagen.
Dalam keheningan doa-doa requiem itu, saya merasakan apa yang belum pernah saya rasakan sebelumnya - sebuah discernment mendalam, seolah berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Di antara suara-suara doa yang melantun dalam bahasa-bahasa asing, saya merasakan kehadiran Roh Kudus yang sama - Roh Kudus yang memimpin gereja selama berabad-abad, Roh Kudus yang akan menuntun para Kardinal dalam Conclave memilih penerus Paus Fransiskus. Saya menyatukan doa untuk proses ini, selain yang utama mendaraskan doa untuk kebahagiaan abadi Paus Fransiskus.