Jumat sore di kota Copenhagen, Denmark. Udara terasa sejuk, menandai berakhirnya musim dingin menuju tibanya musim panas. Saya ingin hadir dan menikmati Ibadah Jumat Agung di Denmark.
Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Suci, yang biasa disebut Tri Hari Suci oleh umat Katolik, merupakan momen puncak perayaan menuju Paskah.
Paskah merupakan perjalanan 40 hari umat Katolik melalui pantang dan puasa menuju kebangkitan Kristus.
Saya dapat kabar, di salah satu gereja di kota Copenhagen, tersedia ibadah dalam Bahasa Inggris.
Namun ternyata saya salah melihat jadwal. Semula saya pikir, Ibadah Jumat Agung yang dilaksanakan pada pukul 15.00 waktu setempat, akan dilakukan dalam bahasa Inggris. Tapi ternyata pengantarnya bahasa Danish.
Rupanya Tuhan punya rencana lain. Kesalahan ini membawa perjumpaan saya kepada tradisi Jumat Agung berbeda dari yang biasanya saya jumpai. Semua tentu bagian dari kebiasaan umat Katolik Denmark yang memberi warna tersendiri.
Walaupun saya tidak memahami bahasanya sama sekali, saya dapat memahami ritualnya karena ritual Ibadah dalam Katolik yang sama, yang mengacu pada Tahta Vatikan dengan pimpinan Paus, sebagai pemimpin umat Katolik sedunia.
Dari gereja Sakramentskriken di salah satu sudut kota Copenhagen, saya menyaksikan umat membawa rangkaian bunga ke dalam gereja.
Mungkin yang tak terlihat membawa bunga, hanyalah tamu atau turis, seperti saya sendiri.
Selama ibadah berlangsung, semua ritual nyaris terlihat sama. Hanya saja ternyata saat Upacara Penghormatan Salib, umat mempersembahkan rangkaian bunga, layaknya kita membawa bunga saat dalam suasana duka. Yesus telah wafat pada kayu salib demi menebus dosa manusia. Perenungan kedukaan inilah yang menjadi fokus Jumat Agung ini.
Saat maju menuju altar, saya pun melangkah dengan tangan hampa. Saya membawa diri saya pada salib di Altar Suci.