Sepertinya sekitar 28 tahun silam pertama kali saya mendengar istilah _brain drain_ dan saya ingat betul itu adalah dalam mata kuliah _Economic Development_. Namun sejak hari itu, istilah unik _brain drain_ tidak pernah saya lupakan.
Entah mengapa, saya dulu berpikir jangan sampai bangsa Indonesia kehilangan banyak tenaga ahli atau kehilangan banyak anak muda karena perolehan karir yang lebih menggiurkan di negara lain. Jangan sampai terjadi banyak _brain drain_.
_Fast forward_ 28 tahun kemudian, saya memutuskan menulis artikel singkat kali ini, karena topik _brain drain_ kembali mengemuka belakangan ini.
_Brain drain_ memang istilah gaulnya jadi kabur / pergi / meninggalkan / mencari kesempatan yang lebih baik. Setidaknya yang lebih menjanjikan.
Mengapa Fenomena #KaburAjaDulu Menguat?
Viralnya tagar #KaburAjaDulu di berbagai platform media sosial beberapa bulan terakhir ini, kelihatannya bukan sekadar tren musiman. Ada jejak frustasi, kekecewaan, dan mungkin---sedikit banyak---ketakutan yang tercermin dari gerakan digital ini.
Mengamati hal ini dari sisi latar belakang psikologi dan memiliki hobi dalam mengamati dinamika pasar kerja, saya melihat fenomena ini sebagai gejala dari masalah yang lebih dalam.
Tekanan ekonomi, ketidakpastian politik, dan perasaan terkekang menjadi pemicu utama.
Namun, ada pula aspek psikologis yang jarang dibahas: kebutuhan akan pengakuan dan pemenuhan diri (_self-actualization_) yang mungkin sulit didapatkan dalam ekosistem kerja di Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan mengajar, saya sering bertemu dengan mahasiswa-mahasiswi muda berprestasi yang memiliki mimpi besar---namun juga menyimpan kekhawatiran besar tentang masa depan mereka di Indonesia.
"_Miss_, kalau saya harus memilih antara _passion_ dan keamanan finansial, mana yang lebih baik?" adalah pertanyaan yang kerap muncul.