Yang saya ingat hanya bahwa ruas batang padi harus ditusuk supaya berlubang dan dibawah ruas itu, batang padinya dipecah-pecah supaya udara yang kita tiup bisa lewat. Tapi tepatnya bagaimana, saya sudah lupa.
Teman saya itu berjanji karena tidak jauh dari kompleks perumahan tempat tinggalnya di Sidoarjo ada sebidang tanah yang digarap menjadi sawah.Â
Saya harus sabar menunggu panen, kira-kira dua bulanan.
Mengenai Ase Lolo, sesuai arti harfiah padi muda, ternyata kata teman saya itu bukan padi yang masih muda tetapi padi yang sesudah panen langsung ditumbuk tanpa dijemur dulu, jadi masih lembek. Benarkah? Saya percaya saja.
Ibu saya mengolah Ase Lolo itu dengan cara: mula-mula dicuci sampai bersih, lalu disiram air panas mendidih, ditiriskan dan diaduk-aduk. Kemudian dicampur dengan kelapa parut dan sedikit gula pasir. Enak sekali, lho. Kira-kira masihkah saya bisa menikmatinya lagi?Â
Selama masa penantian waktu panen, tidak habis-habisnya saya meminta teman saya itu untuk memotret para ibu-ibu yang nanti sedang memanen. Rasanya saya nggak sabar menunggu.
Akhirnya, bulir-bulir padi di sawah sudah mulai berisi, artinya panen padi sudah tidak akan lama lagi. Saya semakin tidak sabar menanti.
Kemudian datang kabar, berupa foto sebuah traktor yang sedang memanen "sawah" ku.Â
Kata teman saya, batang-batang padi yang tersisa nggak mungkin untuk dibuat Sikunrung
