Mohon tunggu...
Irene Maria Nisiho
Irene Maria Nisiho Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

Nenek 6 cucu, hobby berkebun, membaca, menulis dan bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berbagi Kisah Ritual "Paka'do' Salapang Bangngi"

14 Februari 2019   18:10 Diperbarui: 19 Februari 2019   12:44 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tadi malam saya menerima WA dari Ipar saya berupa foto Meja Sembahyang yang disiapkan untuk ritual Paka'do' Tinggi atau Paka'do' Salapang Bangngi, begitu kami menyebut ritual sembahyang ini dalam bahasa Makassar. Melihat foto berwarna warni itu, saya jadi ingin berbagi cerita mengenai ritual ini yang rupanya sekarang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat keturunan Tionghoa di Makassar.

Pada masa kecil saya, ritual ini dirayakan pada malam kesembilan kalender Imlek. Karena itu disebut Paka'do' Salapang Bangngi yang artinya sembahyang malam kesembilan. Sebagian menyebutnya Paka'do' Tinggi karena memakai meja yang kakinya tinggi. Kalau tidak punya meja demikian, maka empat kaki meja diganjal dengan kursi supaya menjadi tinggi.

Mengapa meja harus tinggi? Karena ritual sembahyang ini khusus untuk KaraengngataAllah yaitu Tuhan Allah. Maka sebagian orang menyebutnya Sembahyang Tuhan Allah. Hanya sembahyang ini yang memakai meja tinggi.

Tidak semua keluarga keturunan Tionghoa melakukan ritual ini, walau mereka merayakan Tahun Baru Imlek. Sebagian lagi melakukannya pada waktu Cap Go Meh, malam kelima belas, malam terakhir perayaan Tahun Baru Imlek. Menurut pengetahuan saya ritual ini sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Allah atas semua berkahNya.

Pada waktu dulu jika kita berjalan-jalan di Kampong Cina di waktu malam maka akan terlihat semarak meja-meja sembahyang di depan rumah menghadap keluar atau di lantai dua rumah-rumah. Semua menghadap keluar dan pintu rumah terbuka lebar.

Tentu di Kelenteng-kelenteng sepanjang jalan Sulawesi, Makassar, sangat ramai dikunjungi umat yang mau bersembahyang atau yang hanya sekadar nonton seperti saya. Hehehe... Saya sangat menikmati suasana itu. 

Mirip dengan yang biasa dibuat Ibu saya (foto: google dari tridharma.or.id)
Mirip dengan yang biasa dibuat Ibu saya (foto: google dari tridharma.or.id)
Di rumah saya juga ada ritual ini, tapi tidak setiap tahun. Hanya sesekali jika Amma'(ibu saya) membayar nazar.

Meja sembahyang Amma' luar biasa lengkap. Kayaknya jarang atau malah tidak ada tandingannya. Hahaha... barangkali hanya dalam pikiran anak-anak, atau memang benar?

Mau tahu apa saja yang dipersembahkan ibu saya? Pasti ada minuman, karena banyak gelas gelas mini. Saya tidak memperhatikan sajian wajibnya. Yang saya perhatikan adalah persembahan yang disiapkan Amma' berhari hari sebelumnya, yaitu berupa untaian manisan berupa lingkaran yang dimasukkan mengelilingi tabung kerucut yang bercat merah (mirip cetakan tumpeng). 

Lingkaran paling bawah yang paling besar, lalu mengerucut ke atas. Supaya membentuk lingkaran buah kering atau manisan itu ditusuk jarum berbenang merah. Itu dilakukan satu persatu. Makanya butuh waktu.

Sayang saya tidak memiliki foto-fotonya.

Namun foto di atas dan video ini mungkin bisa membantu Anda sekadar mendapat bayangan seperti apakah Paka'do'Tinggi itu (video dari kerabat di Makassar). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun