Diam. Dianggap baik baik saja. Diinjak tak protes. Bisa diperalat, diperbudak, dikira gampangan. Dikira goblok. Bisa ditipu, dianggap tak berani bicara.
Diam. Dianggap tak punya prinsip. Manut saja diombang ambing. Untuk kepentingan orang lain. Diam dianggap tak melakukan apapun. Tapi diam jadi tak dianggap.
Empati itu mahal. Tapi derita itu tak bisa disangkal. Karena Diam dianggap dangkal. Dibiarkan sial, karena mereka tak kenal.
Namun tak perlu ceritakan semuanya. Prasangka baik jadi tabiat mulia. Paradoks ubi jadi kaca benggala. Sadari, tak semua suka kita jadi apa. Selepas kita pergi, bumbu cerita sudah beda.
Semula hanya cerita ubi. Mentah. Tak ada yang ditambah. Percaya, kamu bisa simpan cerita. Tapi manusia bisa pikun, bisa lupa. Berghibah asyik, lupa kesadaran mulia.Â
Paradoks Ubi, dibalik nanti sudah terpolarisasi. Ubi sudah jadi kolak. Jadi pohong godhok, jadi pohong keju. Belum jauh kita melaju, cerita ubi sudah jadi kolak. Jadi kue. Bahkan jadi tape.
Diam, terhina. Bercerita ditambahi bumbu penyedap rasa. Si anu itu gini gitu. Dighibah seolah tontonan lucu. Asyik untuk ditertawakan. Asyik untuk bahan olok olokan.Â
Tak perlu banyak cerita, jika tiada penting. Seperlunya saja. Fitnah memang kejam. Membunuh karakter, menghabisi partisipasi. Perjuangan ini jadi bahan tertawaan. Jadi bahan hinaan. Aku telah jadi binatang tak bermutu. Aku Terseret drama. Tersandera sandiwara. Bukan aku mau, tapi aku dijebak dolanan nuansa palsu.
Malang, 13 Oktober 2022
Ditulis oleh Eko IrawanÂ