Mohon tunggu...
Irawan
Irawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pelahap informasi...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Siaran Televisi yang Tidak Netral adalah Melanggar Hukum

16 September 2013   23:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:47 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini Senin 16/09/2013, Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin, politisi PDIP, menyoalkan penyiaran sosialisasi Konvensi Partai Demokrat di TVRI. Beliau meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk memeriksa TVRI karena siarannya yang memakan waktu berjam-jam tentang acara Partai Demokrat tersebut.

"TVRI itu milik negara, milik rakyat. Maka harus untuk kepentingan rakyat, bukan kelompok tertentu. Kalau misalnya siaran sampai sekian jam itu harus dipertanyakan," kata Wakil Ketua Komisi I, TB Hasanuddin di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (Sumber: Detiknews 16/9/2013).

Yang menarik adalah TB Hasanudin mengangkat isi Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pasal 36 ayat 4 yang berbunyi sbb: “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”. Memang jika menilik pada ayat tersebut, ada potensi pelanggaran Undang-Undang pada kejadian di TVRI yang dipersoalkan tersebut.

Namun karena UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, salah satu sasarannya berbicara tentang lembaga penyiaran tv yang tidak disebut khusus TVRI saja, maka potensi pelanggaran pada pasal 36 ayat 4 di atas bisa terjadi pada siaran televisi manapun.

Jadi dari pengalaman selama ini kira-kira siaran televisi mana saja yang berpotensi telah melanggar undang-undang tersebut? Yang terlihat mencolok sekali berpihak pada golongan tertentu adalah siaran televisi yang mengkhususkan diri pada siaran pemberitaan, yaitu TVOne dan Metro TV. TVOne dimiliki Ketua Umum Partai Golongan Karya Aburizal Bakrie (ARB), sedangkan Metro TV dimiliki Ketua Umum Nasional Demokrat (NasDem) Surya Paloh.

Dalam siaran TVOne bisa dilihat sering sekali siaran, iklan dan liputan tentang Partai Golkar dan ARB yang sekarang sedang getol-getolnya mengkampanyekan dirinya sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Pun pemberitaan tentang lumpur Lapindo tidak terdengar tajam di TV One. Demikian pula dalam siaran Metro TV banyak jam siaran dihabiskan untuk pemberitaan dan peliputan Surya Paloh dan NasDem. Kedua saluran televisi ini juga seringkali berbeda dalam pemberitaan beberapa isu nasional, misalnya pemberitaan seputar kenaikan BBM, lumpur Lapindo, dll. Jadi sudah kelihatan tidak netral lagi jika menyangkut kepentingan sang pemilik.

Beberapa siaran televisi pun sudah tidak netral lagi jika menyangkut pilkada, terutama siaran televisi daerah.

Ada juga pendapat di masyarakat bahwa media termasuk televisi tidak harus netral, yang penting independen dari pemilik media, dan karenanya perbedaan isi berita hanyalah karena masalah editorial policy, artinya sudah ada opini-opini dari awak media yang penting masih berdasarkan fakta. Tentu hal ini masih bisa diperdebatkan lebih jauh, tetapi yang jelas amanat undang-undang menegaskan bahwa media siaran haruslah netral dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu

Sangsi terhadap pelanggaran Undang-Undang Penyiaran tersebut jelas tersebut di pasal 55 yaitu berupa sangsi administratif dari yang paling ringan adalah teguran tertulis, penghentian acara sementara, sampai terberat adalah pencabutan izin. Pelaksana sangsi adalah Pemerintah bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Berdasarkan pasal 50, dalam hal pelanggaran KPI dapat langsung mengawasi atau menerima aduan dari masyarakat.

Jadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pasal 36 ayat 4 tersebut di atas, siapakah yang bisa menertibkannya? KPI selama ini terkesan diam-diam saja terhadap masalah netralitas. Ternyata memang KPI mempunyai kesulitan; pertama adalah pembuktiannya repot, karena hampir semua yang mengadu atau melapor tidak mau dikutip namanya. Kedua; KPI terhadang peraturan pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 dari Departemen Komunikasi dan Informatika, yang membatasi kewenangan KPI dalam penegakkan hukum. Padahal kewenangan itu diperlukan sebagai upaya lebih lanjut dalam mengontrol netralitas lembaga penyiaran sesuai dengan standar penyiaran KPI.

Kalau memang demikian, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini perlu direvisi secepatnya dan diundangkan segera guna memberi wewenang penegakan hukum kepada KPI. Mengingat situasi politik menjelang pemilu 2014, kasihan KPI karena bakal kerepotan menerima pengaduan-pengaduan masyarakat tentang ketidaknetralan siaran televisi tapi sayangnya tidak bisa berbuat banyak.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun