Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, statistik telah menjadi bahasa yang tak terelakkan dalam memahami realitas ekonomi. Setiap angka inflasi, indeks pertumbuhan, atau tingkat pengangguran bukan sekadar deretan data ia membawa narasi, asumsi, bahkan ideologi.
Di balik grafik dan tabel, tersembunyi pertanyaan-pertanyaan mendalam, apakah angka-angka itu benar-benar mencerminkan kenyataan? Apakah manusia dan pilihan ekonominya bisa direduksi menjadi pola-pola matematis yang dapat diprediksi?
Statistika dalam ekonomi bukan hanya alat teknis, tapi juga sarana kontemplatif. Ia berangkat dari kepercayaan bahwa masa depan dapat ditebak dari masa lalu, bahwa kompleksitas perilaku manusia dapat dikalkulasi, dan bahwa ketidakpastian bisa dikurung dalam batas probabilitas.
Namun, sejauh mana asumsi-asumsi ini dapat diterima? Apakah statistik memperjelas realitas ekonomi, atau justru menyederhanakannya secara berlebihan?
Melalui pendekatan filosofis terhadap statistika dalam ekonomi, tulisan ini ingin mengajak kita untuk menelusuri dimensi epistemologis, ontologis, hingga etis dari penggunaan statistik.
Dengan begitu, kita tidak hanya memahami bagaimana statistik digunakan, tetapi juga mengapa kita mempercayainya dan apa konsekuensinya.
Pada suatu malam di tahun 1906, seorang ahli statistik Inggris bernama Francis Galton menghadiri sebuah pameran ternak di pedesaan. Di sana, ia melihat sebuah kontes aneh, ratusan orang mencoba menebak berat seekor sapi setelah dipotong dan dibersihkan.
Galton, yang percaya pada keunggulan pengetahuan para ahli, memutuskan untuk menguji "kebodohan massa." Ia mengumpulkan semua tebakan, menghitung rata-ratanya, dan dalam kejutan yang luar biasa hasil rata-rata tersebut hanya terpaut satu pon dari berat sebenarnya sapi itu.
Kisah ini, yang kemudian menjadi fondasi dari konsep "kebijaksanaan kerumunan" (wisdom of the crowd), menunjukkan kekuatan statistik dalam menyingkap kebenaran tersembunyi di balik keragaman individu.
Namun, seiring waktu, muncul pertanyaan filosofis yang jauh lebih dalam, "apakah angka-angka statistik benar-benar mampu menangkap realitas manusia, atau hanya menciptakan ilusi keteraturan?"