Seandainya waktu bisa diputar, aku ingin kembali ke masa di mana ada engkau di sini. Bersama menghadapi kerasnya kehidupan, bahu membahu mengatasi masalah. Tertawa, bersenda gurau, menangis, bersedih, silih berganti mewarnai hari-hari kita.
Masih kuingat saat engkau mengajari anak kita salat, mengeja asma-Nya, mengalunkan doa untuk keselamatan keluarga kita. Bagaimana dengan sabarnya engkau mengajari anak kita mengenal aksara dan lambang bilangan. Sementara aku, tak pernah sekali pun ikut andil mendidik mereka.
Sehari-hari, yang kutahu hanya bekerja, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Engkau selalu menerima berapa pun uang yang kuberi. Aku merasa engkau baik-baik saja, tak pernah mengeluh juga tak pernah menuntut lebih.
Engkau pandai memutar uang pemberianku. Tiap sore sebelum mengajar TPQ, kau membawa bermacam jajanan untuk dijual di TPQ tempat kamu mengajar. Kau dipercaya untuk mengurusi tabungan anak-anak didikmu.
Hingga lima tahun lalu, terjadi suatu peristiwa yang disebabkan karena kekhilafanku. Ya, aku sadar, aku yang salah. Telah mengkhianati kepercayaanmu padaku. Engkau berkata, bahwa seumur hidup tak pernah ada orang yang menipu dan mengkhianatimu. Mengapa orang yang menipu dan mengkhianati adalah suamimu sendiri?
Aku juga tak tahu, mengapa aku bisa terperosok ke lubang itu? Masih kuingat perkataanmu. Bahwa, aku orang yang suka bergaya, menghamburkan uang untuk hal tak berguna. Padahal engkau orang yang sederhana, bersahaja, tak pernah menuntut dibelikan ini, itu.
Benar, semua adalah salahku. Karena kesukaan menghamburkan uang, akhirnya banyak menanggung utang. Uang tabungan anak TPQ yang kau percayakan padaku, aku gunakan sedikit demi sedikit. Setahun, dua tahun aman. Aku bisa menutupnya. Akan tetapi entah mengapa, akhirnya aku terjerat dalam lingkaran utang yang tiada berakhir. Uang itu tak dapat dikembalikan.
Engkau pontang-panting mencari bantuan, berusaha bagaimana caranya agar uang itu bisa kembali. Akhirnya dengan cara menggali lubang di tempat lain, utang itu tertutupi.Sejak hari itu, engkau mengambil jarak denganku. Kita hidup satu atap, tapi tak pernah bertegur sapa. Aku semakin asing denganmu. Tiap kali jatuh tempo pembayaran utang, adu mulut pun pecah. Aku tak bisa menenangkan tangis dan meredakan marahmu. Karena sadar, aku salah dan pecundang.
Akhirnya, dua tahun lalu engkau memutuskan pergi. Membawa serta buah hati kita, meninggalkan aku sendiri di sini. Aku tak bisa mencegah dan mempertahankanmu. Talak sudah dijatuhkan. Usaha untuk kembali bersatu, menemui jalan buntu.
Kini, aku sendiri. Tak ada lagi canda ceria anak kita. Tak kudengar lagi tangis dan teriakan mereka. Tak kunikmati lagi masakanmu, tak kutemui lagi senyum yang menyejukkan hati. Kelembutan hatimu berubah karena pengkhianatanku. Maaf yang selalu terbuka untukku, kini tertutup karena telah mencurangimu.
Di sini, aku sendiri menapak jalan, melalui hari. Selalu berharap suatu saat engkau sudi memberikan maaf, walau kau tak mau menerimaku. Karena aku sadar, aku yang salah dan pantas menerima hukuman ini.
****
Ruang hampa, Mei 2020
Ditulis oleh Ira PranotoÂ