Mohon tunggu...
irawan raharja
irawan raharja Mohon Tunggu... -

Standup comedian sepi job, penulis serabutan dan boardgame designer. Panjang kalo ditulis di sini, soalnya Saya anaknya sombong..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kalau Dokternya Cantik, Kamu Mau Sakit?

7 Januari 2016   13:49 Diperbarui: 7 Januari 2016   15:27 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ini giginya masih bisa ditambal atau harus dicabut Dok?"

"Kalo dicabut sayang pak.."

"Yaudah cabut aja Dok, biar sayang..."

Percakapan di atas bukan karangan saya. Baris pertama dan keduanya benar-benar terjadi, baris terakhirnya yang cuma terucap dalam hati. Bukannya takut, cuma khawatir istri saya yang lagi menunggu di luar ruang praktek denger. Lagipula, sudah bukan masanya saya melancarkan jurus-jurus centil seperti itu.

Ya, hari itu saya memang menemui seorang dokter gigi untuk menuntaskan rasa ngilu yang nggak hilang-hilang. Dokternya perempuan, sebut saja tulip karena mawar sudah terlalu mainstream. Entah keahlian apa yang dimiliki Dokter Tulip ini, karena begitu tambalan pertamanya menempel di geraham saya yang apes, ngilunya bukannya hilang malah pindah ke hati. Jarang saya ketemu dokter gigi yang begini cantik. Bahkan dibalik masker yang menutup hidung dan mulut, matanya yang biru (nggak tau asli atau pake spare-part) masih bisa bikin jantung saya deg-degan.

Allah maha adil, ternyata manusia memang nggak ada yang sempurna. Meski cantik, Dokter Tulip ini ngaretnya minta ampun. Dari jadwal praktek yang tertulis jam enam sore, hidungnya yang mancung baru nongol sekitar jam setengah sembilan malam. Artinya, dengan gigi geraham yang rasanya mau meledak, saya dipaksa menunggu selama (hitung sendiri) jam!

Tentunya bukan kemolekan yang membuat saya menahan diri untuk nggak ngomel-ngomel. Mau seperti apapun rupanya, rasanya bukan hal yang bijak untuk marah sama orang yang membawa bor dan punya kuasa untuk mengobrak-abrik mulut kita. Akhirnya saya cuma diam pasrah sambil sesekali meringis kesakitan, ternyata kecantikan nggak ada hubungannya sama anastesi.

Sepulang dari situ saya jadi mikir, demi ketemu dokter secantik itu, ada nggak ya orang yang rela dirinya dihinggapi penyakit? Kalau targetnya mbak-mbak indomaret sih gampang, biar sering ketemu, beli aja chiki 3x sehari. Nah kalo dokter gigi? kira-kira cowok mana yang rela makan permen setiap hari tanpa sikat gigi sampai akhirnya ia harus ketemu dokter gigi? Kalaupun ada, pasti cowok itu hopeless, sekaligus kaya raya. Apapun alasannya, rasanya jarang orang yang rela sakit cuma buat ketemu dokter cantik (atau ganteng, kalau kamu cewek).

Tiba-tiba saya jadi teringat satu sosok yang rela sakit tanpa harus diiming-imingi dokter yang rupawan. Orang itu adalah almarhum ibu saya. Dulu waktu saya kecil, saya pernah demam tinggi dan nggak tau kenapa saya bertanya "Bu, kalo sakitnya aku dipindahin ke ibu supaya aku sembuh, ibu mau nggak?" Beliau tersenyum dan mengangguk. Dua puluh tahun kemudian, saat beliau masih berjuang melawan penyakitnya, ibu juga pernah berujar, "Cukup ibu aja yang sakit, anak-anak ibu jangan..".

Ternyata yang namanya cinta itu macam-macam. Mungkin ada orang yang rela sakit untuk ketemu dokter cantik pujaan hati, tapi ada juga orang yang rela sakit supaya pujaan hatinya nggak ikutan sakit. Dua-duanya mirip, hanya saja..

yang kedua lebih suci dan tanpa syarat :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun