Mohon tunggu...
Iradah haris
Iradah haris Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - We do not need slogan anymore, we need equality in reality

Wanita yang selalu hidup di tengah keriuh-riangan rumah dan sekitar lingkungan. "Happy live is about happy wife" 😍

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Anak Kolong" Itu Menjadi Ibu Semua Orang

16 November 2020   12:26 Diperbarui: 18 November 2020   13:50 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Artur Ihnatov on Unsplash

Lam bocah perempuan, usia 8 tahun. Bertubuh mungil berkulit putih. Wajah oval, bermata kecil. Persis peranakan Tionghoa.

Matahari baru bersinar saat ia pertama kali tiba di pulau. Tentara berpakaian dinas menggendongnya turun dari kapal kayu, berjalan menyusuri perairan sebetis dalamnya. Melewati sekumpulan bakau. Harus berjalan hampir 600 meter untuk mencapai daratan.

Saat makin dekat darat, Lam turun dari gendongan. Kaki kecilnya terendam jernihnya air yang menelanjangi pasir. Perairan dangkal itu adalah wilayah laut tepi pulau yang surut. Bila pasang, kedalaman air bisa menenggelamkan orang dewasa.

Lam asyik bermain di tepi pantai saat tentara itu sibuk menangkap ikan serping (baronang) di balik karang. Tak butuh waktu lama, pria 40-an tahun itu telah menangkap beberapa ekor ikan.

"Pak e... masih jauhkah kampung Uwa (nenek)?," seru Lam.

"Masih jauh, kita harus berjalan kaki lagi. Kalau penat, bisa rehat sesaat. Bawa ikan ini, untuk makan di kampung," jelas pria yang tak lain adalah bapak Lam.

Sambil menenteng seikat ikan, tanpa lelah Lam mendaki dan menuruni bukit serta gunung. Tiga jam lebih mengikuti langkah kaki sang bapak. Tak ada rengek kepenatan. Hanya sesekali bapak anak ini berhenti kemudian meneruskan perjalanan lagi.

Tiba di kampung, Lam terkesima melihat anak-anak sebayanya berlarian tanpa busana. Kebanyakan mereka tidak bersekolah. Cukup mengaji di langgar yang diutamakan.

Orang-orang berdatangan ke rumah nenek Lam. Mereka sangat ramah. Semua mengaku saudara, menyambut bahagia hingga ada yang sampai menangis terharu hanya sebab kedatangannya.

Sayang beberapa hari saja, datang panggilan melalui siaran RRI Surabaya, bahwa, "Karena situasi darurat, Sersan Muslimin harus segera kembali ke markas". Demikian bunyi siaran yang ditujukan untuk Pak'e Lam. Itulah situasi pasca peristiwa G 30 S PKI tahun 1965.

Bapak dan anak ini pun berat hati berpamitan pada sanak saudaranya. Meninggalkan pulau, kembali ke Jawa. Menumpang kapal nelayan. Semalam terombang-ambing di lautan. Dini hari kapal sandar di Dermaga Petekan, Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun