Mohon tunggu...
Iradah haris
Iradah haris Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - We do not need slogan anymore, we need equality in reality

Wanita yang selalu hidup di tengah keriuh-riangan rumah dan sekitar lingkungan. "Happy live is about happy wife" 😍

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Saat Kritis Nekat Kerja Modal Sertifikat Menulis

11 November 2020   11:59 Diperbarui: 11 November 2020   12:16 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Percayalah, kebiasaan baik bila ditekuni dengan ikhtiar akan mengantar pemiliknya pada kebahagiaan. Ini murni pengalaman pribadi, bukan bahasa kecap semata. 

Semasa belia saya pernah melamar kerja hanya dengan bekal sertifikat kegiatan menulis saja. Nekat ya! Keadaan yang mengharuskan begitu. Apakah saya diterima? Ya saya boleh bekerja magang di sebuah kantor redaksi koran daerah walau hanya beberapa masa.

Kala itu saya belum lulus kuliah. Namun sudah "kebelet" kerja. Tepat liburan semester 4, saya bulatkan tekad untuk mencari kerja. Jaman tahun 90-an akhir, mencari pekerjaan untuk status pelajar masih kuliah, bukan hal mudah. Saya sendiri sudah berkali-kali, ditolak.

Siapa yang mau terima mahasiswa yang "ngebet" kerja? Beberapa pemilik usaha bahkan ada yang menasehatkan, kuliah yang benar dulu dik, kalau sudah sarjana baru cari kerja. Ah, pahitnyaa nasehat itu. Bahkan waktu yang bersamaan, sarjana pun masih ratusan yang pengangguran.

Kala itu bertepatan kondisi ekonomi negara sedang terpuruk. Situasi politik dan keamanan dalam negeri pun tengah memburuk. Mengandalkan gaji orang tua saja, tidak cukup. Saya harus keluar dari situasi kritis ekonomi ini. Setidaknya untuk beberapa waktu saja. Hingga keadaan sedikit mereda.

Pada tahun 1998, sejarah mencatat Indonesia dilanda krisis moneter. Penjarahan di masing-masing daerah tak terelakkan. Aksi kami, mahasiswa yang mengatasnamakan masa pro reformasi, pun menggeliat dimana-mana. Demo kami juga dielu-elukan warga.

Kenapa saya katakan demikian? Saat turun aksi, logistik kami selalu "disumbang" warga. Di tengah jalan long march kami, mbak-mbak SPG (Sales Promotion Girl) toko mengulurkan sekeresek besar nasi bungkus. Mas-mas penjaga toko tak kalah, memberikan makanan ringan. Entah kapan mereka urunan dengan kawan-kawannya sesama pekerja lainnya.

Lewat depan toko, sang pemilik seorang tionghoa separuh baya dan istrinya mengangkat berkardus-kardus air mineral dari dalam tokonya. "Ini kalau haus boleh minum ini," ujar Apek dan Ayi tadi.

Rasa terimakasih dan haru tak terkatakan. Kami merasa harapan mereka dengan harapan kami sama. Satu kata, reformasi. Menumbangkan rezim orde baru.

Sebuah kendaraan VW combi bercat putih yang entah dipinjam dari mana oleh kakak senat kami, penuh oleh logistik sumbangan. Mobil itu sejatinya hanya untuk berjaga-jaga saja bila ada masa aksi yang butuh bantuan medis atau untuk emergency.

Sumbangan warga di perjalanan kami sungguh di luar dugaan. Namun seiring waktu seperti menjadi hal lumrah. Tiap aksi sudah pasti ada yang datang sendiri atau berkelompok mengirim logistic dan langsung mendekat ke VW Combi. Mereka bukan pejabat atau penguasa. Melainkan, mbak-mbak, mas-mas yang bekerja atau pemilik-pemilik toko di sepanjang ruas jalan utama yang kami lewati dengan berjalan kaki. Aksi kami tidak "ditunggangi" hanya "disponsori" secara ihlas oleh warga yang bersimpati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun