Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Komisi III DPR, Mewakili Siapa?!

9 Desember 2011   03:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:39 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalo anda ingin melihat segerombolan manusia paling munafik dan paling egois di Republik ini, cukup datang saja ke ruang sidang Komisi III di Gedung DPR Senayan. Disana akan anda temui seringai tawa penuh kemenangan atau seulas senyum sinis menyimpan culas atau bahkan tatapan mata pongah penuh rasa curiga. Dan jangan heran kalo mereka mengusir anda, sebab anda bukanlah siapa-siapa – bukan juga rakyat yang diwakilinya – orang “penting” saja bisa mereka usir jika mereka tak menyukainya. Sebab mereka anggota dewan paling berkuasa di negeri ini. Di tangan merekalah ditentukan siapa yang akan menjadi pimpinan KPK, komisioner KPU, Kapolri, Jaksa Agung, bahkan Panglima TNI. Jadi, mereka punya hak untuk arogan.

-----------------------------------------------------

PRO RAKYAT ATAU PRO KORUPTOR?

Salah satu catatan “prestasi buruk” mantan Menkumham Patrialis Akbar adalah dianggap suka obral remisi kepada para terpidana kasus korupsi. Tindakan ini menyakiti hati rakyat dan melukai rasa keadlian. Bayangkan, mencuri motor butut saja bisa meringkuk bertahun-tahun, sedangkan koruptor puluhan milyar hanya hitungan bulan bisa bebas karena masa tahanannya dikurangi. Tengok saja tante Ayin (Artalita Suryani) yang bisa mengundang dokter ahli kecantikan masuk ke “komplek” kamarnya untuk melakukan perawatan kulit wajah di sel-nya yang mewah. Tante Ayin tak sendirian, temannya ada yang punya ruang karaoke di kamarnya. Dan untuk semua kemewahan dan privilege yang sudah mereka nikmati, tante Ayin dan koruptor lainnya masih berhak mendapat pengurangan hukuman dengan dalih mereka “berkelakuan baik”. Sedangkan Pak Antasari yang divonis 18 tahun penjara karena tuduhan mendalangi pembunuhan berlatar asmara segitiga, sama sekali tak pernah mendapatkan remisi, meski benar-benar berkelakuan baik.

Pemberian remisi 2x dalam bulan Agustus 2011, dengan alasan hari kemerdekaan RI dan hari raya IdulFitri, sudah memicu gelombang protes dari rakyat dan penggiat anti korupsi. Pak Patrialis menuai kecaman sana-sini. Semua mencerca kebijakannya memberikan remisi kepada pelaku korupsi, sebab bukankah korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang tidak patut mendapat pengampunan. Derita rakyat akibat korupsi di negeri ini sudah sangat parah. Pemberian remisi untuk koruptor dianggap sama sekali tidak memberika efek jera.

Tak heran jika Menkumham yang menggantikan Patrialis Akbar – Amir Syamsudin – kemudian mengambil keputusan untuk melakukan moratorium pemberian remisi terhadap terpidana kasus korupsi, di awal masa jabatannya. Maka, tertundalah masa pembebasan bersyarat beberapa pelaku korupsi cek pelawat, seperti Paskah Suzeta dkk. Meledaklah amarah Komisi III DPR. Mereka mengecam tindakan Menkumham baru yang memberlakukan penghentian sementara alias moratorium terhadap pemberian remisi koruptor.

Puncaknya, mereka memanggil Menkumham untuk hadir ke sidang Komisi III. Karena tidak bisa hadir, Menkumham mengutus wakilnya untuk datang. Anggota DPR yang “terhormat” merasa tersinggung. Mulailah mereka bersitegang yang berbuntut pada pengusiran Wamenkumham dan ancaman untuk mengajukan hak interpelasi kepada Presiden karena mengeluarkan kebijakan moratorium remisi.

Wamenkumham bukan orang pertama yang diusir Komisi III DPR. Pak Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, pimpinan KPK periode lalu, pernah diusir saat mengahdiri Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III dengan KPK. Ketika Ketua KPK Busyro Muqoddas berani memanggil para Pimpinan Badan Anggaran untuk diperiksa KPK karena adanya dugaan Banggar menjadi sarang mafia anggaran dari parpol-parpol, Komisi III DPR memanggil seluruh Pimpinan KPK untuk “diadili” karena dianggap lancang telah memanggil 4 orang Pimpinan Banggar. Mereka tersinggung berat! Terlontarlah cacian dan makian kepada KPK. Katanya KPK ibarat teroris yang membuat anggota dewan yang terhormat menjadi terteror. Dalam forum itu pula Fahri Hamzah dari PKS dengan pongah mengatakan dialah yang melontarkan ide agar KPK dibubarkan saja! Komisi III DPR benar-benar memuncak amarahnya jika rekan separtai mereka diusik, apalagi kalo issunya terkait korupsi, ooh..., itu haram hukumnya!

Jadi, sebenarnya siapakah mereka yang duduk di Komisi III DPR? Katanya sih mereka wakil rakyat. Mereka bisa duduk di sana karena waktu Pemilu 2009 lalu ada sejumlah besar suara rakyat yang diberikan pada partai politik tempat para politisi itu bernaung. Contrengan pada selembar surat suara, yang didapat karena rakyat yang lugu rela antri mendatangi TPS-TPS untuk ikut berpartisipasi pada pesta demokrasi 5 tahunan. Dan karena kontribusi rakyat itulah mereka bisa menjadi “anggota dewan yang terhormat”. Pada merekalah rakyat mempercayakan aspirasinya untuk mendapatkan keadilan hukum, sebab mereka di Komisi III membidangi masalah hukum.

Tapi faktanya justru berbeda. Ketika rasa keadilan rakyat terkoyak karena koruptor yang sudah menggarong uang rakyat dan membuat rakyat hidup sengsara dibebaskan dari penjara setelah menjalani hukuman “basa-basi”, mereka yang terhormat itu tidak bereaksi keras menolaknya. Sebaliknya, ketika rekan separtai mereka yang terbukti secara sah dipengadilan melakukan korupsi kemudian gagal melenggang keluar dari penjara setelah menjalani sebagian masa hukumannya, anggota dewan terhormat itu marah luar biasa sampai-sampai mereka mengeluarkan salah satu senjata sakti yang dimilikinya : hak interpelasi. Ketika kecurigaan publik begitu besar kepada Badan Anggaran yang dianggap sarang koruptor dimana para Bendahara Parpol berkumpul, DPR justru tersinggung karena Pimpinan Banggar diperiksa KPK. Kalo begitu, siapakah yang mereka wakili? Rakyat yang sudah memilihnya atau para koruptor?!

Jangan heran jika Komisi III lebih berpihak pada koruptor. Muhammad Nazaruddin yang kini sedang duduk di kursi pesakitan karena kasus suap Wisma Atlet, dulu mantan anggota Komisi III yang kemudian posisinya di sana digantikan kakak sepupunya Muhammad Nasir. Di Komisi III pulalah duduk Mantan Wakapolri Adang Dorojatun yang istrinya jadi buronan KPK paling dicari karena dianggap mendalangi pembagian cek pelawat kepada sejumlah anggota DPR saat pemilihan Deputy Gubernur BI. Bisa anda bayangkan sendiri, jika yang duduk di Komisi III adalah keluarga, kerabat dan sahabat dari para pelaku korupsi yang sedang berhadapan dengan kasus hukum, mana bisa mereka diharapkan mau menegakkan hukum dan mengawal pemberantasan korupsi?!

Pekan lalu Komisi III sudah sukses menggelar sandiwara terbesar menjelang akhir tahun berjudul “Pemilihan Pimpinan KPK”. Mereka sudah sukses mengelabui rakyat dengan bersikap seolah sepakat mendukung Bambang Widjojanto jadi Ketua KPK, kemudian mengkhianati janjinya saat dilakukan voting tertutup. Jika sebelumnya mereka berlomba-lomba mengklaim solid mendukung BW, dalam tempo sejam kemudian mereka dengan senyum kemenangan menyatakan semua fraksi mendukung Abras. Tanpa rasa bersalah apalagi malu! Mereka tentunya bukan tidak tahu aspirasi masyarakat yang menginginkan BW. Ah, peduli apa dengan suara rakyat?!

Di tangan mereka pula lolos seorang Kapolri yang dikarbit habis-habisan – dalam waktu setengah hari naik pangkat sampai 2x – yang pantas masuk rekor MURI karena tak pernah terjadi sepanjang sejarah Kepolisian RI sejak Republik ini berdiri ada seseorang yang dalam hitungan jam bisa naik pangkat dari Jendral Bintang Satu menjadi Bintang Tiga. Dan atas semua keanehan dan pelanggaran kelaziman itu, Komisi III DPR tidak mempertanyakan. Mereka bahkan meloloskan saja calon yang diajukan Presiden. Yah, dalam kasus tertentu, sepanjang tidak merugikan diri mereka dan kelompoknya, DPR memang bersinergi dengan Pemerintah.

Lalu, kalo aspirasi rakyat tidak pernah di dengar, bahkan diabaikan, masihkah mereka layak di sebut wakil rakyat?! Ketika banyak elemen masyarakat meneriakkan tuntutan “bubarkan Banggar”, Komisi III justru membela mati-matian. Ketika rakyat menginginkan Ketua KPK yang garang, berani, matang dan berpengalaman, Komisi III DPR justru memilih calon yang paling lemah dari segi kompetensi berdasarkan serangkaian hasil tes dan seleksi oleh Pansel. Ketika rakyat ingin koruptor dihukum seberat-beratnya tanpa mendapat pengurangan hukuman, Komisi III DPR justru menolak habis-habisan kebijakan moratorium remisi terhadap terpidana kasus korupsi. Apa sih yang mereka maui?! Membangun Republik Koruptor Indonesia-kah cita-citanya?!

Dan inilah kado “terindah” dari Komisi III bidang Hukum DPR : interpelasi atas pencabutan SK tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Pemberian Remisi untuk Terpidana Korupsi.

APA YANG BISA DILAKUKAN RAKYAT?

Masih tersisa waktu 3 tahun lagi bagi mereka untuk berkuasa di Senayan. Jika dalam tempo 2 tahun saja tingkah laku mereka sudah sedemikian memuakkan, keputusan yang mereka ambil sudah begitu menyakiti dan mengkhianati aspirasi rakyat, tidak adakah yang bisa rakyat lakukan?! Hanya pasrah menunggu 3 tahun berlalu, memberi mereka peluang untuk menggendutkan pundi-pundi pribadi dan parpolnya, lalu dijadikan modal untuk berkampanye pada 2014 dan 3 tahun lagi mereka akan kembali dilantik untuk duduk di posisi yang sama karena terpilih kembali?! Tengok saja wajah-wajah mereka, sebagian besar adalah tokoh-tokoh lama yang sudah 2-3 kali jadi anggota DPR. Dan untuk semua itu rakyat hanya bisa gigit jari sambil memaki dalam hati?!

Seharusnya rakyat punya hak untuk menurunkan mereka. Semestinya konstituen dari daerah pemilihan mereka bisa menuntut wakilnya untuk mempertanggungjawabkan perilakunya yang tidak berpihak pada rakyat. Ya, hanya rakyat yang bisa menuntut, jangan berharap partai politik akan menegur apalagi memberikan sanksi pada kadernya di DPR. Sebab dari merekalah “darah segar” untuk partai dialirkan. Lihat saja ketika Fahri Hamzah melontarkan ide pembubaran KPK, bukankah partainya menolak menegurnya? Membiarkan berarti menyetujui. Parpol dan kadernya di DPR sudah setali 3 uang. Sama-sama tidak bisa dipercaya. Berita pagi ini di RCTI melontarkan tanya : “mungkinkah koruptor sengaja dipelihara karena dari merekalah para politis mendapatkan dana?”

Kelompok anti korupsi dari UGM sudah meminta kepada DPR agar jangan jadi pembela koruptor. Tapi entah didengar atau hanya dianggap angin lalu. Sepertinya perlu dipertimbangkan adanya tekanan publik di setiap sidang maupun RDP Komisi III DPR. Bukankah Senayan itu rumah rakyat, jadi rakyat berhak datang dan memantau sidang. Rasanya sudah saatnya masyarakat lebih mempercayakan aspirasi mereka pada LSM yang berani kontra melawan DPR. Bila perlu, masyarakat di setiap daerah pemilihan bisa membentuk LSM atau ormas yang menyuarakan tuntutan agar si A dari partai “abal-abal”, si B dari partai “culas”, si C dari partai “pecundang”, dan si D dari partai “tisani” (tipu sana sini) harus diturunkan karena rakyat sudah mencabut mandatnya.

Ini memang ide gila. Jika dilontrakan ke DPR, mereka akan kompak mengatakan ini melanggar konstitusi, tidak ada dalam Undang-Undang. Memang, jangan pernah mimpi akan ada UU yang mengatur hak rakyat untuk menggugat dan mengajukan mosi tidak percaya pada wakil rakyat, sebab yang menyusun UU adalah DPR. Mungkin hanya di negeri ini saja rakyat kalah telak pada wakilnya. Di sini wakil lebih berkuasa dari yang memberi mandat. Sepeti pembenar atas tanda-tanda datangnta akhir zaman : ketika banyak budak melahirkan tuannya! Rakyat telah jadi budak yang harus bekerja keras mengupayakan kesejahteraan hidupnya sendiri, menyisihkan hasil jerih payahnya untuk membayar pajak dan semua layanan birokrasi, kemudian uang-uang itu untuk membayar “tuan-tuan”nya yang arogan di Senayan.

Bisa jadi, kalo ada anggota DPR – apalagi Komisi III – yang membaca tulisan ini, saya akan dicap “teroris” karena dianggap mendiskreditkan lembaga yang terhormat. Dan untuk itu, pantas dihukum tanpa pengampunan, tanpa remisi. Sebab menghina anggota DPR itu lebih jahat dari korupsi milyaran rupiah uang rakyat! Tapi..., bukankah DPR juga bebas memaki siapa saja yang dianggap berani mengusik kenyamanan mereka? Ooh.., kalo itu hak mereka! Karena Komisi III membidangi masalah Hukum, maka ditangan merekalah tafsir hukum dipegang. Keadilan hukum harus dipandang dari kacamata koruptor, bukan rakyat!

Selamat hari Anti Korupsi Sedunia, 9 Desember!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun