Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

[CFBD] Mangkok Keramik dan Talam Seng Peninggalan Mbah Wir

22 Agustus 2012   23:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:26 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_201577" align="aligncenter" width="509" caption="2 buah talam dari seng tebal dan sebuah mangkok dari keramik kuno (foto koleksi pribadi)"][/caption] UWAK, begitu Ibuku memanggil Budenya, kakak dari kakekku. Sedangkan aku dan adikku diminta memanggilnya Mbah Wir. Saat aku masih kelas 4 SD, Uwak sudah tua sekali. Badannya bungkuk nyaris membentuk sudut 90 derajat. Rambutnya sudah memutih semua. Entah berapa usianya saat itu, tak ada yang tahu. Maklum Mbah Wir buta huruf.

Sekedar pembanding, usia Mbah Putri (ibunya Ibuku) 83 tahun saat meninggal tahun 1978. Kalau saja masih hidup, almarhumah Mbah Putri sekarang 117 tahun. Usia Mbah Kakung (bapaknya Ibuku) pastilah lebih tua lagi, orang jaman dulu biasanya jarak usia suami dan istri cukup jauh. Apalagi usia Mbah Wir, kakaknya Mbah Kakung. Bisa jadi Mbah Wir lahir lebih dari 125 tahun lalu, sebab dia bukan kakak yang persis di atas kakekku.

Mbah Wir termasuk panjang umur. Semua saudaranya sudah wafat, Mbah Wir masih sehat, tak punya penyakit khusus. Mbah Kakung wafat saat aku masih TK. Suami Mbah Wir tak pernah kutahu, sudah lama meninggal dunia. Sayangnya, pasutri itu tak dikaruniai anak. Sepeninggal suaminya, Mbah Wir tinggal menumpang di rumah adiknya yang kala itu termasuk cukup berada. Kami memanggilnya Mbah Mantri. Malang bagi Mbah Wir, ketika Mbah Mantri wafat, putranya menjual rumah besar warisan orang tua mereka. Jadilah Mbah Wir terkatung-katung tak tahu akan tinggal dimana.

[caption id="attachment_201578" align="aligncenter" width="506" caption="Talam seng ini cukup besar, mampu menampung banyak sayuran"]

1345677430385567938
1345677430385567938
[/caption]

Saat itu yang kutahu Mbah Wir sangat trauma dan takut mendengar detak sepatu beradu dengan lantai. Bahkan sekedar melihat pria memakai pantalon dan bersepatu di layar TV, Mbah Wir sudah ketakutan. Pasalnya, ketika putra Mbah Mantri hendak menjual rumah itu, mereka tak mengabari Mbah Wir. Mendadak, datanglah pembeli rumah yang merasa berhak masuk tanpa permisi karena sudah membayar lunas harga rumah besar tersebut. Si pembeli pun dengan bahasa Indonesia meminta Mbah Wir segera meninggalkan rumah itu. Padahal, Mbah Wir tak paham bahasa Indonesia. Ketakutannya pada pria berkemeja resmi dan bersepatu, begitu membekas dalam ingatanku. Kini, setelah dewasa, bisa kubayangkan betapa traumatisnya kejadian itu bagi seorang perempuan tua renta yang hidup sebatangkara. Betapa nelangsanya Mbah Wir kala itu.

Akhirnya, dibantu salah satu kerabat yang tinggal tak jauh dari sana, Mbah Wir memberesi semua benda miliknya dan dibawa ke rumah kerabatnya itu. Padahal, si kerabat ini hanyalah seorang janda yang tinggal di rumah papan dan bagian depan rumahnya dijadikan warung kelontong sebagai sumber penghasilannya, membiayai hidup bersama putrinya semata wayang. Menampung Mbah Wir selamanya, tentu jadi beban berat buatnya.

Akhirnya, kabar Mbah Wir terusir dari rumah almarhum adiknya, sampai juga ke telinga Ibu dan Bapakku. Tanpa pikir panjang, Bapak mengajak Ibu menjemput Mbah Wir dan memintanya tinggal bersama keluarga kami. Malam itu juga Mbah Wir pindah ke rumah kami. Tak banyak harta benda miliknya. Selain tas pakaian dan seperangkat alat dapur, beberapa ekor ayam peliharaannya turut dibawa. Sekarang, aku baru ngeh bahwa Mbah Wir memang bukan orang berada. Itu sebabnya barang miliknya tak banyak.

[caption id="attachment_201579" align="aligncenter" width="534" caption="Mangkok putih dari keramik kuno"]

1345677528249282993
1345677528249282993
[/caption]

[caption id="attachment_201580" align="aligncenter" width="522" caption="Satu-satunya cacat dari mangkok ini hanyalah noda-noda hitam di bagian bawah mangkok"]

1345677583853842944
1345677583853842944
[/caption]

Begitulah, Mbah Wir tinggal bersama kami. Kebetulan rumah yang kami tempati di Bondowoso peninggalan orang tua Bapak, termasuk rumah jaman Belanda. Ada 4 kamar berukuran besar plus sebuah kamar ukuran sedang. Salah satu kamar ukuran besar, kira-kira 4x6 meter, dipakai berdua aku dan Mbah Wir. Meski sekamar, kami tidur di ranjang berbeda.

Satu setengah tahun kemudian, Bapakku berpulang ke Rahmatullah. Kami bertiga – Ibu, aku dan adikku – berduka. Sanak keluarga, kerabat, tetangga dan teman-teman berdatangan menyampaikan simpati pada Ibuku. Sejenak, keberadaan Mbah Wir terlupakan. Tak satupun dari sekian banyak keluarga dan kerabat yang datang, menanyakan Mbah Wir. Beliau mengurung diri di kamar sampai usai pemakaman Bapak esok harinya. Kebetulan daerah tempat tinggal kami masih memegang teguh tradisi tahlilan sampai 7 hari. Jadi selama 7 hari itu rumah kami masih ramai sanak saudara dan tamu-tamu yang berdatangan melayat.

Usai tahlilan 7 hari, rumah kami kembali sepi. Bahkan rumah kuno itu terasa terlalu besar untuk kami berempat. Saat itulah Mbah Wir menemui Ibuku, sambil menangis pilu beliau mengeluh : "Kenapa bukan aku yang dipanggil duluan? Oemar yang mengajakku tinggal di sini, kenapa sekarang Oemar yang berangkat duluan? Kalau aku yang mati kan gak ada yang kehilangan. Oemar masih dibutuhkan anak-anak ini", ratapnya, seolah menyesali kenapa ia harus menyaksikan kematian orang yang lebih muda.

Sekitar 2 bulanan pasca meninggalnya Bapak, Mbah Wir menyusul. Beliau pergi tanpa sakit berarti. Hanya flu beberapa hari dan seperti biasa Mbah Wir tak mau minum obat apalagi dibawa ke dokter. Seperti keinginannya, Mbah Wir wafat ditengah keluarga kami.

Sepeninggal Mbah Wir, barang-barangnya yang tak seberapa jadi milik Ibu, sesuai amanahnya. Ada beberapa piring besar dan kecil dari keramik, gelas kuno, mangkok kuah, dll. Semua benda-benda itu memang dipesankannya untuk dipakai Ibu.

[caption id="attachment_201581" align="aligncenter" width="567" caption="Beginilah sehari-hari talam ini difungsikan"]

1345677698513907236
1345677698513907236
[/caption]

Sayangnya, beberapa piring keramik itu kemudian ada yang pecah. Tahun 2006, aku dan adikku memutuskan memboyong Ibu dan tak lagi tinggal di Bondowoso. Seluruh barang di rumah kami, selain barang pribadi, dibagi-bagikan kepada sanak saudara dan tetangga. Termasuk peralatan dapur dan piranti makan pecah belah. Ribet kalau harus memboyongnya ke Bekasi, meski memakai jasa pengiriman paket sekalipun. Tak ketinggalan peralatan makan peninggalan Mbah Wir. Yang tersisa dan masih dibawa Ibu, hanya 2 buah talam dari seng tebal, yang sampai saat ini kondisinya masih bagus, tak berkarat dan sehari-hari dipakai mewadahi hasil masakan.

Satu-satunya barang pecah belah kuno yang masih ada sampai sekarang hanyalah mangkok putih dari keramik kuno. Keramiknya tebal dan tahan panas. Warnanya putih bersih dan teksturnya berukir timbul. Sampai saat ini tak ada cacatnya, kecuali beberapa nokhtah hitam. Dulu mangkok ini jadi wadah minyak klentik (minyak buatan sendiri). Kini, mangkok putih itu jarang kami pakai, meski masih nangkring di rak dapur. Sayang rasanya kalau mangkok itu sampai retak apalagi pecah.

Lebaran begini, saat barang-barangnya masih kami pakai, saya ingat Mbah Wir. Dulu beliau berpulang tak lama setelah Idul Fitri. Sementara Bapakku menghadap Ilahi menjelang Ramadhan, 19 Juni 1981. Kapan tepatnya Mbah Wir wafat, aku lupa tanggalnya. Tak terasa, kini sudah 31 tahun keduanya pergi meninggalkan kami. Tapi barang peninggalan Mbah Wir masih layak pakai sampai sekarang. Benar kata orang bijak : sebuah benda dinilai bukan dari harganya, tapi dari kegunaannya. Meski benda itu umurnya mungkin sudah lebih 100-an tahun, tapi fungsinya tak kalah dibanding peralatan jaman sekarang.

13456777562067797988
13456777562067797988

Tulisan kenangan dan foto-foto barang kuno ini dipersembahkan untuk memeriahkan HUT Cengengesan Family yang ke-1

Ira Oemar peserta no. urut #3

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun