Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bapak Ibu Hati-hati, Kuncup Melatinya Jangan Sampai Dirusak Kelinci ya...

6 November 2013   17:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:31 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_290381" align="aligncenter" width="461" caption="foto yang saya jepret kemarin"][/caption]

Seperti biasa kalau weekend atau hari libur nasional dan kebetulan tak ada acara lain, saya selalu sempatkan untuk olah raga ringan : jalan sehat. Kebetulan dari rumah menuju ke jogging track sekitar 2,5 km, cukuplah untuk jalan kaki setengah jam, sudah termasuk naik-turun bukit, karena lokasi perumahan yang saya tinggali di atas bukit. Sampai di jogging track, denyut nadi sudah pas untuk memasuki zona latihan, tinggal jalan cepat atau berlari-lari kecil mengelilingi jogging track 3-5 kali putaran. Pun juga Selasa, saat libur tahun baru Hijriyah kemarin, saya jalan kaki ke jogging track. Karena saya rasakan sepanjang jalan relatif sepi dibandingkan hari kerja biasa maupun weekend, saya memutuskan untuk santai sambil sesekali mengambil foto obyek-obyek yang menarik perhatian saya. Mendekati lokasi jogging track, saya lihat para penjual makanan pun tak seramai hari Sabtu apalagi Minggu.

Sebelum sampai di jogging track, tepat di seberangnya ada lapangan luas. Lapangan itu di sisi yang tepat berseberangan dengan jogging track adalah lapangan bola yang terbuka untuk umum, lalu di bagian lain masih ada areal luas yang biasanya kalau hari Minggu dipakai untuk latihan olah raga beladiri, dll. Lapangan bola itu sendiri luas, sebab selain lapangan bola, pinggir-pinggirnya ruang kosong yang ditanami pepohonan sebagai paru-paru lingkungan. Saat melewati tempat itulah saya melihat 2 remaja – tepatnya ABG – yang sedang asyik dengan dunianya sendiri. Si cewek masih imut banget, wajah polosnya yang tampak jelas karena rambutnya diikat ekor kuda ke belakang, menyiratkan dia masih awal belasan tahun, mungkin baru SMP sekolahnya. Dia mengenakan kaos lengan pendek kuning cerah dan short pants bahan jeans yang membuat 2/3 pahanya terbuka. Sementara si cowok tampaknya sudah lebih “gede”, mungkin sudah SMA. Tadinya saya sempat mengernyitkan kening, sebab penampilan di cowok lebih mirip anak jalanan. Bukan..., bukan karena dia kumal atau bajunya rombeng. Gaya penampilannya lah yang mengingatkan saya pada sekelompok anak punk yang kerap ngumpul di depan mall dan tidur menggelandang di emperan toko. Hanya saja rambutnya tidak dibentuk  model anak-anak punk. Rambutnya agak panjang hampir menyentuh bahu. Celana jeans belel yang dipakainya tampak seolah melorot sampai di bawah pinggul, mirip model celana hypster yang biasanya justru trend di kalangan cewek.

Bukan hanya gaya penampilan di cowok yang membuat saya rada ilfil padanya, tapi posisi duduk keduanya itu yang bikin miris dan sekilas ingatan saya pada video anak SMP 4 Jakarta yang belum lama heboh. Eiiits..., bukan saya sudah nonton video mesum itu lho! Kapan hari ada yang menulis di Kompasiana terkait video itu dan diposting screenshoot salah satu capture adegan video itu meski agak tersamar. Ya, posisi ABG cewek yang mengenakan short pants itu melipat kedua kakinya ke arah paha dan si cowok melakukan hal yang hampir sama, keduanya berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Pepohonan yang rimbun daunnya memang agak menutupi keduanya tapi tetap saja kalau ada yang lewat dekat situ akan bisa melihatnya. Kebetulan hari libur nasional seperti kemarin tak terlalu ramai keluarga yang berjalan-jalan.

[caption id="attachment_290384" align="aligncenter" width="461" caption="Foto ke-2 ketika si cowok menyadari saya candid dan si cewek langsung melompat berdiri membelakangi si cowok."]

13837322141181576018
13837322141181576018
[/caption]

Entah kenapa pikiran saya jadi ikutan tak tenang. Jelas sekali saya lihat raut wajah si gadis cilik, masih polos dengan tawa rianya. Dari gestur dan raut mukanya, tampak dia sedang kasmaran. Sementara si cowok tampaknya sedang melancarkan rayuan maut. Tak lama saya di jogging track, hanya 1x putaran, saya putuskan untuk kembali ke lapangan dimana kedua ABG itu “menyepi”.

Galau sekali hati ini meski tak kenal siapa 2 anak itu. Ah..., saya lebay? Mungkin saja. Tapi sorot mata dan tawa ceria gadis imut itu yang membuat saya tak rela kalau sampai terjerat bujuk rayu si cowok yang dimata saya –saya bisa salah – tampak seperti bad boy. Saya mendadak teringat tulisan Mbak Ellen Marinka beberapa waktu lalu, sudah lupa apa judulnya, tapi esensinya kurang lebih membahas kenapa banyak wanita baik-baik yang jatuh ke pelukan bad boy. Memang yang dibahas dalam tulisan Mbak Ellen itu bukan ABG, tapi wanita dewasa. Nah, kalau yang dewasa saja bisa jatuh ke pelukan bad boy, bagaimana pula dengan anak ABG yang wawasannya belum luas, pergaulannya masih terbatas dan pemikirannya belum panjang dan jauh ke depan?

Saya tiba di tempat kedua anak itu pacaran sekitar 30 menit setelah saya pertama kali melihatnya. Kebetulan sudah tampak beberapa ibu bersama anak-anak mereka yang melintasi lapangan itu, mungkin akan mengantar anaknya bermain bola atau sekedar berlarian. Hanya saja, jarak antara jalan setapak yang dilalui ibu-ibu dengan tempat kedua ABG itu duduk masih berjarak beberapa meter dan keduanya tetap bersikap cuek seolah dunia milik berdua. Beberapa orang yang bergabung untuk main bola juga sudah tampak. Hanya saja area main bola jaraknya hampir 10 meter dari tempat anak itu duduk dan posisi gawang pun membelakangi keduanya.

Saya coba meng-candid keduanya dengan kamera saku. Memang sulit, karena selain terhalang pepohonan, jaraknya cukup jauh dari jalan tempat saya berdiri yang sebagian sudah mulai dipenuhi mobil parkir. Saya coba beberapa kali tekan tombol zoom dan..., click! Satu moment sudah saya capture. Kali ini saya bisa melihat lebih jelas penampilan si cowok. Ternyata, dia pakai bando di kepalanya, mungkin utk menghalangi poninya yang panjang jatuh di jidat. Saya menggeser posisi mencoba lebih dekat, persis di samping Avanza yang parkir disitu. Rupanya, kali ini tak sengaja saya menekan tombol video dan sempat membuat saya gugup untuk mengembalikan ke tombol foto. Rupanya si cowok melihat saya dan tampak membisikkan sesuatu ke ceweknya dan secepat kilat si cewek melompat dan berdiri membelakangi cowoknya. Click, pada saat itulah saya tekan tombol foto. Saya bersyukur keduanya merasa diawasi. Setidaknya mereka masih punya rasa malu atau takut. Tak penting itu, yang lebih penting kedunya tak melanjutkan berasyik masyuk. Saya pun kembali melanjutkan aktivitas jalan-jalan dan cari sarapan.

[caption id="attachment_290385" align="aligncenter" width="494" caption="Foto remaja pacaran yang saya candid di tempat yg sama beberapa bulan lalu. hanya saja posisi duduk mereka masih tergolong wajar dan pakaian si cewek tidak terlalu mengundang"]

13837322581645804167
13837322581645804167
[/caption]

Sambil menelan irisan batagor, saya terus terbayang ekspresi gadis cilik tadi yang kurang lebih sama dengan ekspresi siswi SMP 4 dalam video – yang hanya saya lihat 1 capture screenshoot-nya saja. Seandainya ibu dari gadis cilik tadi yang melihat anaknya dalam posisi seperti itu, apakah si ibu akan se-galau saya atau biasa saja? Ataukah saya yang berlebihan hanya karena penampilan si cowok memberikan kesan bad boy sehingga saya terlalu khawatir dia akan “ngapa-ngapain” si cewek? Yang jelas, saya heran saja, bagaiman ortu si cewek bisa mengijinkan putrinya keluar sepagi itu sendirian atau bersama cowok bad boy tadi dengan pakaian seperti itu dan tanpa pengawasan? Mungkin saja mereka pergi berdua, si cowok menjemput si cewek dari rumahnya, atau si cewek keluar sendiri dari rumahnya dan bertemu cowoknya di tempat yang sudah dijanjikan. Apapun yang terjadi, yang jelas ortu si cewek membiarkan anaknya kelayapan tanpa pengawasan sepagi itu. Jam berapa mereka berangkat dari rumah? Mungkin ketika matahari baru malu-malu muncul.

Ayah gadis cilik yang ada dalam video, sudah tampil di media massa sambil menangis didampingi Aris Merdeka Sirait dari Komnas Anak, menyatakan putrinya korban intimidasi, putrinya dipaksa, sementara polisi dan beberapa pihak menyatakan pelaku dalam video itu atas dasar suka sama suka, sehingga sulit menentukan siapa yang jadi korban. Entah mana yang benar, biar hukum yang membuktikan. Ayah si anak juga menyatakan dia kenal betul putrinya sejak kecil yang tak mungkin melakukan hal seperti itu. Masalahnya, agak absurd juga kalau putrinya korban intimidasi, pemaksaan, tapi kabarnya perbuatan seperti itu sudah dilakukan beberapa kali di kelas, sampai akhirnya divideokan oleh teman-temannya – yang menurut saya sudah tak punya nurani dan solidaritas – dan kasus itupun baru terungkap setelah videonya tersebar di dunia maya berselang sekian hari dari tanggal perbuatan itu dilakukan. Semestinya, si putri lugu ini sudah mengadu pada ortunya kalau dia dipaksa berbuat demikian dan dibawah ancaman dia disuruh tersenyum. Pakar gestur dan pembaca raut muka mungkin lebih bisa membaca mana senyum yang dipaksakan dan mana senyum malu-malu.

Kalau saja suatu saat gadis cilik yang saya temui di dekat lapangan bola itu mengalami kejadian yang kurang lebih sama dengan anak SMP 4 Jakarta, akankah ortunya juga mengatakan putrinya korban rayuan buaya darat si bad boy? Mungkin saja perilaku tak pantas yang akhirnya menjerumuskan seorang ABG terjadi dalam kondisi salah satu pihak sedikit memaksa pihak lain, yang mungkin masih takut-takut. Tapi bukankah peristiwa itu tak terjadi begitu saja sekonyong-konyong? Pasti ada prolog panjang yang membuat salah satu pihak merasa punya hak dan berani memaksa pihak lainnya. Ada moment-moment dimana si cewek yang kasmaran disadari sepenuh atau tidak, sudah memberi peluang pada si cowok untuk menggunakan otoritasnya menjamah tubuh si cewek. Dengan mau diajak pergi berdua, menyepi dan berdekatan yang “menyerempet” bahaya, sudah memberi sinyal pada si cowok untuk bisa lebih dari itu di kali lain.

[caption id="attachment_290386" align="aligncenter" width="530" caption="foto : fokus.news.viva.co.id"]

1383732398620312799
1383732398620312799
[/caption]

Mungkin saya yang terlalu kuno binti kolot dan kuper. Tapi entah kenapa saya tetap merasa sayang kalau raut wajah polos dan ceria si gadis cilik suatu saat harus berganti murung berkepanjangan, mengurung diri karena malu dan terlebih lagi kehilangan masa indah remajanya dan kesempatan untuk bersekolah sebagaimana anak seusianya. Orang tua terkadang merasa sangat kenal dengan anak mereka yang dibesarkan sejak bayi, tapi mereka lupa bahwa waktu berlalu dan kondisi jaman berubah. Anak yang sejak bayi sampai sekolah TK selalu mereka temani dan tunggui, kini ketika SMP lebih banyak bersama teman-teman mereka. Peer pressure terkadang lebih kuat pengaruhnya. Ketika ortu tak mengenali karakter teman-teman dekat dan “geng” anaknya, sesungguhnya mereka sudah tak lagi mengenali anak mereka yang dulu masih balita.

Saya teringat ucapan Cut Tari ketika pertama kali video adegan ranjangnya dengan Ariel tersebar di dunia maya. “Ibu saya aja, yang ngelahirin saya, gak percaya itu saya!” sanggah Cut Tari dengan tajam di hadapan awak media. Betul, si ibu tentu tak percaya, karena yang ada dalam benak si ibu adalah putrinya yang manis dan penurut. Mungkin si ibu lupa bahwa putrinya sudah lama jadi selebritis yang hidup dengan gaya para pesohor metropolitan, bebas dari nilai-nilai susila meski statusnya sudah bersuami dan punya seorang putri. Begitupun ayah dari anak dalam video mesum, tentu tak yakin anak gadisnya bisa berbuat seperti itu kalau bukan karena intimidasi temannya. Namun, apapun latar belakangnya – suka sama suka atau dipaksa dengan intimidasi – si anak sesungguhnya korban dari ortu yang tidak mengenali dengan siapa anaknya berteman. Semoga saja ayah dan ibu dari anak yang saya lihat di lapangan bola, suatu saat nanti tak terkaget-kaget bahwa mereka telah kehilangan gadis cilik mereka yang polos dan lugu. Sebab, sejatinya mereka sudah kehilangan kendali ketika mereka membiarkan si anak bebas tanpa pengawasan.

ABG sedang berada dalam masa tak punya jati diri, tak punya identitas, tak punya percaya diri. Mereka ikut apa kata peer grup-nya. Mereka lebih takut dikucilkan temannya ketimbang dimarahi ortu. Karena itu, semestinya di usia ini ortu lebih intens mendampingi putra-putrinya dan memberi mereka penanaman rasa percaya diri, sayang pada masa depan hidup mereka sendiri. Mereka tak perlu jadi seperti apa yang dimaui teman-temannya, jika mereka bisa eksis dengan talenta dan kelebihan yang bisa mereka gali dalam dirinya. Mereka tak perlu takut kehilangan kasih sayang pacar hanya karena menolak dicium dan diraba-raba, sebab kasih sayang ortu tanpa syarat.

[caption id="attachment_290387" align="aligncenter" width="525" caption="foto : www.raj3elsada.com"]

13837324791945167555
13837324791945167555
[/caption]

“Siapakah yang punya taman, yang lupa mengunci pintu jeruji... Hati-hati si kembang melati jaga diri... Terkadang kelinci baik hati, rayu di bibir manis sekali, karna si kelinci punya maksud tersembunyi...” Penggalan lirik lagu Dian Mayasari dalam album Festival Lagu Populer Indonesia paruh kedua tahun ’80-an tiba-tiba terngiang di telinga saya. Betul, di luar sana ada banyak kelinci-kelinci yang siap mengobrak-abrik taman, bapak dan ibulah yang tak boleh lalai mengunci pintu jeruji agar si kembang melati tetap terpelihara. Bukan dengan membungkus kembang melati dalam kantong plastik, tapi hanya yang diijinkan masuk saja yang boleh ikut melihat keindahan melati. Biarkan kelinci itu tetap di luar pintu jeruji. “Aduh.., aduh itu dia lari, yang beraksi tampan sekali... Kadang gadis jadi lupa diri... Dia...,lelaki seperti kelinci... Obral janji sana sini, tak satupun terpenuhi. Kelinci lari tiada terkendali...

[caption id="attachment_290388" align="aligncenter" width="523" caption="foto : www.raj3elsada.com"]

13837325361194279546
13837325361194279546
[/caption]

Di luar sana bukan hanya kelinci, serigala berbulu domba pun banyak. Bahkan serigala dengan seringai manis pun ada. Ini bukan lagi jaman si mantel merah dan serigala seperti dalam dongeng Hans Christian Andersen. Si mantel merah tetap bisa selamat meski serigala menyamar menjadi nenek tua yang sudah lebih dulu di makannya. Kalau anda ijinkan putri anda yang manis diantar jemput serigala – itung-itung pengiritan ongkos angkot – bisa jadi putri anda akan benar-benar tersesat di hutan. Sebab ini bukan lagi dongeng, tapi kisah nyata dimana moralitas dan akhlak mulia sudah jadi barang langka. Kita tak akan bisa membasmi serigala apalagi cuma kelinci. Tapi menjaga kembang melati anda atau si mantel merah dari kedekatan dengan kelinci dan serigala, itu masih jauh lebih baik ketimbang anda kelak terkaget-kaget merasa tak lagi mengenali putri manis anda.

[caption id="attachment_290389" align="aligncenter" width="545" caption="srigala dan baju merah modern. Ada ortu yang bangga putri kecilnya sudah ada yang rutin antar jemput dan mempercayakan begitu saja putrinya. Jangan menyesal  kalau anda dapati baju putri anda dikoyak serigala. (foto : acehdesain.wordpress.com)"]

1383732587705074791
1383732587705074791
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun