Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita yang Tidak Ditulis AI

29 Mei 2025   20:28 Diperbarui: 29 Mei 2025   20:28 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Jimmy Chan: https://www.pexels.com/photo/hallway-with-window-1309902/

NAMAKU Raka. Orang memanggilku Pak Raka, dulu. Sekarang, cukup Raka saja. Di penjara ini, tak ada embel-embel kehormatan apa lagi gelar di belakang namaku. Semua orang sama statusnya: narapidana.

Aku masih ingat hari itu. Hari ketika semuanya berubah. Terutama dunia yang berputar untukku. Untuk memahami semuanya, izinkan aku mundur sedikit. Mundur beberapa waktu ketika aku percaya bahwa menjadi guru adalah panggilan jiwa yang paling suci di dunia ini.

***

Aku mengajar Bahasa Indonesia di salah satu sekolah menengah unggulan di Jakarta. Sekolah itu bangga dengan statusnya sebagai "Kampus Cerdas Masa Depan". Kami punya proyektor pintar, sistem absensi wajah, bahkan AI yang mampu menilai esai murid dalam satu kali kedipan mata hasilnya langsung muncul. Aku skeptis pada awalnya, perlahan terbiasa. Kecerdasan imitasi itu ada di mana-mana---begitu katanya. Aku tidak pernah menduga, kecerdasan itulah yang ternyata membodohiku.

Namanya... ah, tidak perlulah kusebut. Dia muridku yang duduk di kelas 11. Pandai, cerdas, terampil namun agak pendiam. Tulisan-tulisannya bagus sekali, dia piawai sekali meramu kata demi kata yang membuat kalimat dalam paragraf mengalir dengan liku-liku yang sempurna. terkadang juga terlalu tajam untuk anak seusianya. Aku sering memuji esainya, meski selalu hadir perasaan aneh yang menggelayut di benakku. Suara halus yang bilang, "Tulisan ini terlalu sempurna."

Aku tidak pernah menuduhnya. Karena aku tahu diri, siapalah aku yang bisa menuduh esai dengan serampangan? Aku hanyalah seorang guru yang sangat percaya terhadap kemampuan anak didiknya. Iya, aku percaya pada mereka. Lagipula, tidak ada guna menyontek esai Bahasa Indonesia, kan?

***

Empat bulan lalu, dia mengumpulkan tugas esai tentang "Peran Etika dalam Era Digital". Aku membacanya dalam satu tarikan napas. Brilian. Argumentatif. Luar biasa. Penuh referensi. Namun... perasaan aneh itu muncul lagi. Tulisannya terasa dingin. Mungkin lebih tepatnya tidak bernyawa dan terlalu sistematis, terstruktur dengan sempurna. Sama sekali tidak ada kesalahan, juga tidak ada suara khas anak itu, di situ, di tulisan itu.

Aku iseng menguji potongan esai itu di detektor AI. Hasilnya: 99% kemungkinan ditulis oleh mesin.

Aku tercengang. Hatiku tercekat. Ada sedikit ragu dalam diriku. Bisa saja detektor itu salah. Karena mesin itu juga buatan manusia, mungkin saja alat pendeteksi itu menuduh yang bukan-bukan. Bisa saja anak itu memang berkembang pesat. Aku panggil anak itu ke ruang guru, mencoba berdialog dan menggali informasi lebih lanjut terhadap temuanku.

"Apa kamu pakai bantuan AI untuk tugas ini?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun