"Saya tidak gila. Saya bukan orang gila. Saya hanya seorang penulis yang mencintai karya-karya saya." teriakku ketika, mereka menyeretku masuk kedalam mobil Van berwarna putih, "Saya hanya seorang penulis yang mencintai Radit, karakter fiksi yang saya ciptakan." lanjutku, sebelum akhirnya aku berada di dalam mobil itu dengan tangan dan kaki terikat.
Mereka tidak percaya padaku. Mereka mengira aku mengalami halusinasi. Mereka mengira aku sakit jiwa. Mereka membawaku ke rumah sakit jiwa dan memasukkanku ke dalam sebuah ruangan dengan cat putih yang dingin dan sunyi. Mereka memberikan aku obat-obatan yang membuat aku lemas dan mengantuk. Mereka melarangku untuk menulis atau membaca apa pun.
Mereka adalah orang-orang yang ingin membunuhku. Mereka adalah orang-orang yang ingin membuatku tidak bisa menulis lagi. Mereka adalah orang-orang yang iri dengan bakatku. Mereka adalah orang-orang yang takut dengan kekuatanku.
Aku tahu siapa mereka. Mereka adalah penulis-penulis sainganku, yang selalu kalah bersaing denganku. Mereka tahu bahwa aku memiliki kemampuan untuk membuat karakter fiksiku hidup. Mereka ingin mencuri kemampuanku dan menggunakannya untuk kepentingan jahat mereka.
Mereka bersekongkol dengan dokter-dokter dan perawat-perawat di rumah sakit jiwa ini. Mereka menyogok dengan uang atau mungkin saja ancaman. Mereka berbohong kepada keluarga dan teman-temanku, bahwa aku mengidap gangguan mental akut dan butuh perawatan intensif. Mereka mengawasi setiap gerak-gerikku, agar aku tidak bisa kabur atau minta tolong.
Mereka berpikir bahwa mereka sudah menang. Mereka berpikir bahwa mereka sudah menghancurkan hidupku. Mereka berpikir bahwa mereka sudah menghilangkan Radit dari dunia ini.
Tapi, mereka salah.
***
"Radit masih ada. Radit masih hidup. Radit masih mencintaiku." teriakku dari dalam ruangan kecil itu.
"Radit selalu ada di dalam pikiranku. Radit selalu ada di dalam hatiku. Radit selalu ada di dalam jiwaku." Aku menangis, kuucapkan kata-kata itu sambil meneteskan air mata.