Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tempat Dimana Ombak Bertemu Pasir

30 Agustus 2023   08:56 Diperbarui: 30 Agustus 2023   09:14 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar oleh valeria miler dari pexel.com

Hari ini adalah hari yang sangat istimewa bagiku. Akhirnya, setelah kesibukan rutinitas yang menggelayuti kehidupanku, aku bisa pergi liburan ke pantai yang sudah lama aku impikan. Semilir angin sepoi-sepoi menyapa wajahku begitu aku keluar dari mobil. Pasir putih bersih terhampar di depan mata, dan ombak yang tenang menggulung dengan lembut di bibir pantai. Aku merasa seperti anak kecil yang baru pertama kali datang ke pantai.

Aku memilih untuk duduk di bawah pohon kelapa di tepi pantai sembari membentangkan alas untukku duduk dan bersantai sambil merebahkan tubuhku yang kaku karena himpitan rutinitas pekerjaanku. Aku merasa begitu damai dan bebas. Saat aku menutup mata dan mendengarkan suara ombak dan desiran angin, tiba-tiba terdengar suara di dekatku.

"Permisi, bolehkah aku duduk di sini?" tanya seorang pria dengan senyum ramah di wajahnya.

"Ya, tentu saja," jawabku sambil tersenyum. Pria itu duduk tidak jauh dariku dan meletakkan sebuah keranjang piknik di antara kami.

"Nama aku Radit. Liburan sendiri?" tanyanya lagi.

"Aku Nayla. Ya, begitulah ... baru pertama kali aku datang ke pantai sendirian ... kalau kamu?" balasku.

Radit tersenyum. "Aku sering datang ke pantai ini ... tempat ini memiliki kenangan yang spesial bagiku."

Saat kami berbicara, kami terlibat dalam percakapan yang semakin dalam. Kami berbicara tentang impian, hobi, dan pengalaman hidup kami masing-masing. Aku merasa nyaman berjam-jam berbicara dengan Radit seolah kami sudah kenal lama.

Kami memutuskan untuk makan siang bersama dengan makanan yang Radit bawa. Kami duduk di atas tikar, menikmati hidangan sederhana namun lezat sambil ngobrol dan tertawa. Percakapan dengan Radit terasa begitu natural dan mengalir seperti air sungai yang meliuk-liuk indah melewati pegunungan.

Tak terasa, matahari sudah semakin rendah di ufuk barat, memberi warna-warni indah di langit senja. Kami berdua berjalan-jalan di sepanjang pantai, kaki kami menyentuh pasir yang masih hangat. Ombak yang lebih besar menerpa pantai, membuat suara gemuruh yang menenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun