Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Disaat Semut Merasa Kesemutan

7 November 2020   23:31 Diperbarui: 7 November 2020   23:34 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profesor itu berkata "kita bangsa semut, kita mampu bekerja keras, kita tidak mengenal lelah".  Baiklah, pikir ku. Aku mampu bekerja keras tanpa mengenal lelah seperti yang dia katakan. "Aku hanya tidak memahami esensi dari bekerja keras bagi kami para semut pekerja, apa yang kami dapatkan?" gerutu ku dalam hati ketika aku mendengar profesor itu berpidato di tengah-tengah kita.

sebelum bergabung dengan koloni ini, aku sudah bekerja keras dari pagi sampai malam, hasilnya mereka malah membuang ku, setelah mereka mendapatkan apa yang mereka harapkan. "kamu sudah tidak dibutuhkan lagi bagi koloni semut ini, silakan pergi dan terima kasih atas kerja samanya", masih saja teringat kalimat itu dibenak ku, meskipun aku seekor semut yang hanya memiliki 250.000 sel otak di kepala ku.

Sepertinya para semut disini tidak seperti ku, aku sering berpindah-pindah pohon, dari pohon mangga, pohon rambutan, pohon nangka dan bahkan aku pernah singgah di pohon ek dan sakura, aku berpengalaman dengan pohon-pohon itu. "mengapa anda tidak memakai daun untuk mengajari semut-semut muda" sahut seekor ratu semut di koloni ini kepada ku. "aku mempunyai daun ku sendiri yang ku susun dari rangkaian daun-daun selama aku singgah dari pohon ke pohon itu" jawab ku. "pakai sajalah daun dari pohon ini" dengan nada memerintah menyuruh ku untuk mematuhinya.

aku heran, aku bingung, aku tak habis pikir, pohon jenis apa ini, bukan mangga, bukan rambutan dan juga bukan jambu, begitupun dengan daun-daunnya, setiap dahan daunnya berbeda-beda, lalu ini pohon apa?

di ujung dahan ini tempat aku berdiri dengan daun plastik buatan dalam negeri sambil berfikir keras hati ku berkata "hei.. aku ini semut, tapi kenapa bisa otak ku seperti banyak semut?".

mungkin aku harus menjadi seekor semut, untuk dapat memahami pola para semut, agar aku tidak kesemutan.

-TAMAT-

M.I.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun