Mohon tunggu...
Iqbal Djawad
Iqbal Djawad Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar

Ph.D di Bidang Aquatic Animal Physiology, Hiroshima University

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Keputusan Jauh dari Hiruk Pikuk

8 April 2015   12:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:22 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa bulan lalu saya mendapat pesan di akun facebook, dari seorang lulusan Asian Pasific University (APU) Beppu. Dia seorang wanita dengan karakter yang kuat, mengabarkan bahwa telah lulus menjadi salah seorang pengajar muda di program Indonesia Mengajar nya Bapak Anis Baswedan yang sekarang sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Saya sempat terhenyak karena dia memutuskan untuk menjadi pengajar, bukan bekerja di perusahaan Multinasional yang banyak mencari lulusan-lulusan APU. Pertama kali bertemu dengan dia ketika menjadi MC pada acara Indonesian Week 2012 yang diadakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) APU di kampus APU, Beppu akhir 2012. Waktu itu saya terkesan dengan talenta dia yang bisa menjadi MC dihadapan ratusan orang dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat baik. Setiap tahun saya menghadiri acara Indonesian Week ini dan dia selalu menjadi salah satu panitia sentral yang memegang peranan penting suksesnya acara. Pada tahun 2012 dia masih tampil di depan layar tetapi tahun berikutnya kayaknya lebih banyak di belakang layar tetapi tetap memegang peran penting.

Saya mencoba bertanya, apa alasan dia memilih jalan yang tidak populer atau dengan kata lain dia memilih jalan sunyi. Beberapa orang untuk tidak mengatakan hampir sebahagian besar orang Indonesia lulusan Universitas ini akan mencari kerja di Perusahaan-perusahaan Jepang yang berada di Tokyo atau kota besar lainnya di Jepang dan di ibukota negara ASEAN termasuk Jakarta. Saya sangat kaget ketika dia membalas pertanyaan saya bahwa sayalah salah seorang yang mempengaruhi keputusannya. Awalnya dari diskusi ringan dengan beberapa mahasiswa Indonesia yang belajar di APU di sebuah restoran di Oita. Sambil kita makan saru soba, beberapa mahasiswa tingkat akhir ini bercerita tentang cita-cita setelah tammat di APU. Sebahagian besar dari mereka termasuk dia bercerita tentang niat beberapa perusahaan Jepang di Jepang dan Indonesia yang akan merekrut mereka.

Setelah mereka mengeluarkan cerita dan angan2nya, saya dimintai pendapat mengenai pekerjaan itu. Sepanjang sepengetahuan saya, saya menyarankan, setelah mereka menyelesaikan pendidikan mereka di APU, mereka bisa bekerja dimana saja termasuk Indonesia yang selama ini oleh sebagian orang mengatakan bukan merupakan tempat yang baik buat para lulusan luar negeri. Semuanya serba terbatas dan harus berjibaku untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang layak bagi ukuran mereka. Kalaupun mereka masih mencoba untuk mencari pengalaman kerja, mungkin baik kalau mencoba “uji nyali” untuk bekerja di Negara-negara ASEAn khususnya Myanmar, Vietnam, Kamboja dan Laos yang diprediksi akan menjadi negara besar sama dengan Indonesia, Singapore, Thailand dan Malaysia. Hal penting yang juga perlu di jaga adalah hubungan networking dengan seluruh teman, masyarakat umum, kenalan serta para professor selama mengikuti pendidikan di APU. Saya merasa pada saat diskusi itu hanya menawarkan beberapa pilihan untuk kembali ke Indonesia disaat momentum yang tepat. Kita tidak bisa menjudge bahwa iklim Indonesia belum cocok untuk mengatakan tidak cocok bagi orang-orang lulusan luar negeri tanpa tidak pernah mencoba. Saya masih menyisakan beberapa pertanyaan mengapa dia berani mengambil jalan sunyi untuk menjadi pengajar di daerah bukan di kota besar. Saya tiba-tiba gelisah sampai mencoba untuk menuangkan cerita ini dalam sebuah tulisan.

Pengambilan keputusan dalam menentukan pekerjaan di Jepang merupakan suatu proses panjang. Pada jaman perang banyak penduduk Jepang tinggal di desa yang pekerjaan utamanya adalah bercocok tanam. Untuk menghasilkan produk pertanian berskala besar mereka berkelompok dan semua keputusan dibuat secara kolektif dimana para tetua di desa itu juga memainkan peran dalam menentukan suatu hal yang berhubungan denga pertanian. Semasa masih kuliah di Hiroshima berapa belas tahun silam, seorang teman orang Jepang menyarankan saya untuk menonton sebuah film klasik Jepang Seven samurai (shicinin no samurai) karya sutradara besar Jepang, Akira Kurosawa. Film ini memperlihatkan bagaimana proses pengambilan keputusan di desa yang penduduknya merupakan petani padi. Proses pengambilan keputusan di desa itu dalam banyak hal mempunyai kemiripan dengan pengambilan keputusan di perusahaan-perusahaan Jepang di masa sekarang. Proses pengambilan keputusan Jepang yang klasik ini, mulai dengan membahas hal-hal yang ingin diputuskan. Setelah itu data dikumpulkan dan dianalisis, lalu membuat konsensus yang perlu dicapai. Biasanya proses ini melibatkan orang-orang paling senior yang bisa meyakinkan dan untuk mendapat bimbingan. Hal ini menjadi proses yang memakan waktu, tetapi dari sudut pandang orang Jepang itu mengarah pada keputusan terbaik. Feodalisme di Jepang sudah lama hilang, tapi pola perilaku kelompok yang didirikan waktu itu, berakar dalam masyarakat, dan masih mempengaruhi bagaimana keputusan semestinya dibuat di suatu organisasi atau perusahaan Jepang.

Sebaliknya, proses pengambilan keputusan yang umum di negara lain bisa dibentuk di setiap individu. Semua orang bisa menentukan sesuatu hal dengan cepat, bisa bereksperimen dan melakukan improvisasi, bermain-main sampai mereka memutuskan untuk bekerja atau melakukan sesuatu. Pengalaman saya berhubungan dan berinteraksi dengan orang Jepang, berbeda dengan pengambilan keputusan di tempat lain. Waktu yang dibutuhkan cukup lama dan bisa membuat frustasi orang-orang yang tidak bisa beradaptasi dengan budaya ini.

Proses pengambilan keputusan Jepang memiliki keuntungan. Ketika dijalankan dengan benar, harus dipastikan bahwa semua bagian dari suatu organisasi termasuk sumberdayanya sudah siap dengan keptusan itu dan siap untuk menerapkannya. Mereka perlu yakin bahwa semakin banyak yang berpartisipasi dalam menentukan suatu keputusan akan menciptakan kehati-hatian dan menghasilkan keputusan yang baik. Untuk alasan ini, Jepang cenderung merasa nyaman dengan proses pengambilan keputusan perusahaan mereka, walaupun harus memakan waktu dan rumit. Saya yakin beberapa diantara kita telah menggabungkan cara pengambilan keputusan di Jepang dan negara lain. Salah satu yang telah diambil oleh alumni APU ini menggabungkan kedua cara di atas dimana secara sadar dia telah memutuskan, walaupun dalam proses pembuatan keputusan dengan rendah hati dia ikut mendengar opini dan pendapat orang lain.

Terlepas dari semuanya, di tengah dunia yang terus menuju hedonisme dan apatisme, tidak banyak memang orang yang masih mau berjalan di “jalan sunyi”  yang tidak banyak orang tahu apa yang sedang dilakukan, jalan yang tidak ada hiruk pikuk di dalamnya dan yang tidak membawa kekayaan materi berlimpah, jalan yang mungkin tidak serta merta mendatangkan kebanggaan bagi sebuah tingkat sosial. Dia memutuskan untuk mengajar buat orang-orang yang tidak mempunyai banyak akses dan tidak cukup materi untuk mendapatkan pembelajaran dari sumber-sumber yang melimpah di dunia ini. Saya haqqul yakin juga bahwa dia mau mengajar bukan hanya untuk orang lain tetapi juga untuk mengajar dirinya sendiri sebagai seorang pembelajar yang haus akan ilmu. Saya juga yakin bahwa dia sadar bahwa banyak anak-anak negeri ini yang butuh sentuhan pengajaran, bahkan untuk sekadar dibimbing agar semangat meraih apa yang dicita-citakan. Hati kecil saya mengatakan bahwa dia bisa mendapatkan lebih dari semua yang telah diputuskan karena talenta yang dimiliki, tetapi faktanya dia memutuskan untuk berjalan bersama anak-anak yang karena kondisi ekonomi dan geografis tidak bisa merasakan apa yang dia rasakan selama kurang lebih 4 tahun belajar di APU.

Saya teringat kata-kata bijak mentor saya ketika masih bekerja di suatu perusahaan swasta pembenihan udang nun jauh dipelosok sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan. Beliau mengatakan “tak ada manusia yang terus-menerus mengambil keputusan yang tepat. Tapi semua manusia yang takut mengambil keputusan, banyak diantaranya selalu berakhir dengan keputusan yang salah”. Semoga alumni APU ini merupakan orang yang mengambil keputusan tepat dengan hati nurani dan menjadi pembelajar sepanjang hidupnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun