Mohon tunggu...
Iqbal Ahmad Naufal
Iqbal Ahmad Naufal Mohon Tunggu... Freelancer - Berani Berpendapat

Seorang Sarjana Ilmu Komunikasi dengan IPK yang pas-pasan. Berposisi sebagai rakyat yang suka mengamati politik, tetapi tidak ingin terjun ke politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Monolog untuk Negeri

11 Oktober 2020   14:57 Diperbarui: 11 Oktober 2020   20:11 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

75 Tahun kita mendaulat diri kita sudah merdeka. Euforia setiap tahun merebak keseluruh Nusantara. Seketika kita bangga memakai atribut negara. Sangsaka merah putih diusung tinggi keangkasa. Dan para petinggi sibuk berlaga di depan media massa. Tapi apa kita paham apa arti kata "merdeka"?

Apa benar bangsa ini sudah benar-benar merdeka?

Apa bukti bahwa kita sudah merdeka?

Apa merdeka adalah menang melawan penjajah seperti yang ditulis dalam buku sejarah?

Atau apa karena tanah kita tercipta dari darah para pendahulu kita?

Lalu sekarang apa yang kita lakukan untuk menghargai semua jasa mereka?

Sebagian besar generasi kita bahkan tidak tahu nama mereka. Para veteran tidak terurus, mereka terpaksa meninta-minta. Jas merah hanya status di sosial media. Kita tidak pernah bangga akan budaya yang kita punya, sampai diambil tetangga sebelah kita. Kita pemberani dan bahaya di dunia maya. Mengkritik lewat sosial media pun habis dengan segala artikel dan liputan berita. Di dunia nyata bahkan kita tidak perduli dengan orang di sekeliling kita.

Kenapa generasi kita begitu cemas jika mereka tidak memakai merek handphone yang sama?

Kenapa kita membunuh saudara atas nama Tuhan yang kita puja?

Kenapa asing menguasai sumber alam kita?

Kenapa kita tidak bisa melakukan apa-apa?

Kalau kita memang merdeka, kenapa nasib petani belum juga sejahtera? Kenapa korupsi dapat remisi dan narkotika dihukum mati? Kenapa kita selalu benci dengan sesuatu yang tidak kita pahami? Jika memang kita menganut Bhineka Tunggal Ika, kenapa kita harus memaksakan semaunya satu warna, kenapa? Terlalu banyak pertanyaan, terlalu sedikit yang mencari jawaban. Para ahli agama mabuk dalam peran mereka sebagai Tuhan. Politisi menjadi pecandu narkoba bernama kekuasaan. Dan kita larut dalam omong kosong persatuan, tapi menolak perbedaan.

Apa benar kita sudah merdeka? Karena rasanya kita masih menjadi budak. Budak kesombongan yang terlena oleh sejarah. Orang yang kita lihat di dalam kaca jelas masih terjajah. Tidak ada satupun yang bisa memerdekaan mereka, kecuali diri kita, merdeka.

"Demokrasi butuh perjuangan dan keberanian agar kebenaran dapat ditegakkan", Bandung, 11 Oktober 2020, atas nama cinta dan pengkhianatan.

Respect, Rebel Thought. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun