Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... -

lahir dan besar di palopo, alumni fakultas ekonomi unhas, sementara kuliah di Magister Sains FEB UGM.Menetap sementara di Jogjakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masih Seputar Reformasi Birokrasi

7 Juni 2011   09:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:46 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan lalu, atas ajakan teman saya mengikuti bedah buku “Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi”. Tema yang sebenarnya sudah tidak asing lagi. Semenjak lengsernya Soeharto, tema ini telah menjadi diskusi panjang yang tiada ujung pangkalnya. Masalahnya, sejak era reformasi bergulir, penyakit birokrasi yang korup dan tidak efisien belum juga diselesaikan. Kenapa bisa ya?

Kembali acara tadi, bedah buku ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Prof Agus Dwiyanto, dosen UGMyang juga penulis buku tersebut, ada juga Prof Amir Imbaruddin dosen LAN Makassar, serta Prof Kacung Maridjan dari Unair.Ketiga pembicara ini sebenarnya memiliki latar belakang yang sama yaitu administrasi publik. Jadi apa yang mereka sampaikan seputar permasalahan birokrasi tidak begitu jauh berbeda.

Karena mungkin sebagian besar dari peserta diskusi berlatar belakang disiplin ilmu administrasi dan politik, maka sebagian besar dari mereka yang berbicara lebih melihat permasalahan birokrasi sebagai efek domino dari tidak tuntasnya reformasi politik di negeri ini.

Sebagaimana penyampaian prof Kacung yang menjelaskan bagaimana besarnya cost politik setiap pemilihan kepala daerah akan berdampak pada perilaku korup kepala daerah. Perilaku korup kepala daerah tersalurkan melalui beberapa celah, misalnya suap penerimaan pns, serta pemungutan biaya atas pelayanan publik guna menggenjot penerimaan, serta pratik mafia proyek pembangunan infrastruktur.

Olehnya, ia agak kurang sepakat ketika bahasan tentang reformasi birokrasi tidak menyertakan diskusi tentang penuntasan reformasi politik yang belakangan menjadi pemicu mewabahnya penyakit korup birokrasi.

Sebenarnya, saya juga punya hipotesis sendiri. Selain perspektif politik, saya melihat sulitnya reformasi birokrasi terutama upaya mewujudkan pemerintahan yang efisien lebih karena juga belum tercapainya reformasi ekonomi. Maaf, karena latar belakang saya yang juga mahasiswa akuntansi sektor publik, maka menurut saya, akan sulit untuk mencapai efisiensi dan efektifitas manajemen pemerintahan jika pemerintah belum menuntaskan persoalan ekonomi.

Bagi saya, persoalan utama birokrasi kita sebenarnya hanyalah birokrasi yang gemuk, dimana begitu banyak PNS dengan tupoksi yang mungkin saja hanya bisa dikerjakan oleh 1/3 dari jumlah mereka. Dan jumlah yang besar ini sejalan dengan desentralisasi daerah, pegawai pemda begitu membludak. Hingga suatu waktu saya ke kantor bupati, saya mengamati ada begitu banyak pegawai yang berseliweran tanpa pekerjaan yang jelas. Hal yang berkebalikan dengan tenaga PNS professional semisal dosen dan dokter yang jumlahnya hanya sedikit dibanding dengan jumlah mahasiswa dan pasien.

Kenapa bisa demikian? Maaf, bagi saya ini karena kegagalan pemerintah dalam mendorong reformasi ekonomi. Angka pengangguran yang tinggi dijawab dengan cara singkat, penerimaan PNS Pemda besar-besaran tiap tahunnya. Belum lagi tenaga honorer/sukarela yang antri tiap tahunnya menunggu SK pengangkatan.

Jumlah pegawai yang besar dan tidak sebanding dengan kinerja mereka tentu menjadi muasal segala masalah birokrasi. Walhasil, untuk memberdayakan seluruh pegawai, maka proses pelayanan masyarakat menjadi mata rantai yang panjang dan berbelit-belit.

Dan yang terpenting sebenarnya adalah sulitnya mencapai tujuan utama pemerintahan, pelayanan masyarakat. Anggaran pemda terserap begitu besar untuk menggaji pegawai dan tidak sebanding dana untuk pelayanan publik dan infrastruktur.

Maka sebenarnya, yang harus dilakukan pemerintah terutama pemda adalah memicu kegiatan perekonomian sehingga para angkatan kerja lebih berupaya untuk bekerja pada sektor yang produktif ketimbang menggantungkan diri pada negara.

Efek domino dari penerimaan PNS memang ada, gaji untuk PNS akan mereka gunakan kembali untuk belanja dan memicuka ktivtas ekonomi. Namun, yang jadi soal perputaran uang tersebut tidak disertai dengan meningkatnya produktivitas daerah. Bayangkan saja, masih ada begitu banyak daerah dengan potensi kekayaan alam yang melimpah namun masih gagap dalam mengelolahnya. Mereka bergantung pada dana alokasi dari pemerintah pusat untuk membiayai belanja mereka. Padahal, jika perekonomian tergerak, dimana masyarakat bekerja di sektor yang lebih produktif maka tentunya pendapatan asli daerah akan meningkat. Hipotesis ini teruji pada begitu banyak penelitian.

Tulisan ini hanya refleksi seputar birokrasi di pemda. Bukan bermaksud menggugat teman-temanku yang PNS, karena saya percaya mereka memiliki niat yang baik untuk perbaikan birokrasi saat mendaftar PNS. Hanya saja, ini hanyalah kritikan bagi para para pengambil kebijakan yang selalu sesumbar dengan capaian-capaian ekonomi.

Tabe, semoga bermanfaat, capek maki dipimpong hanya untuk urus KTP bela!

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun