Sepulang dari kedai itu, aku lebih sering menghayal. Kenapa? Karena dengan itu, aku bisa menemuimu. Aku bisa melihatmu sebagai sosok yang senantiasa memujiku, berada di sisiku. Meski hanya imajinasi, bagiku itu lebih nyata ketimbang harus menyaksikanmu berbahagia dengannya.
Mia, apa kau percaya cinta pada pandang pertama? Sebagaimana banyak remaja mendefinisikannya. Dulu aku tak percaya, tetapi setelah senyummu menembus dadaku, aku jadi yakin. Hal demikian memang ada.
Eh, tunggu dulu. Apa aku benar jatuh hati padamu? Secepat itukah? Setiba-tiba ini? Ah, sial. Kau tak mengguna-gunaiku bukan? Tapi untuk apa juga, aku ini lelaki biasa, darah saya biasa, status sosial dan ekonomi saya sangat biasa. Tak pantas bagimu yang merupakan turunan terpandang.
---
Sepekan usai kali pertama aku melihat senyummu itu, aku begitu bahagia tiap kali berada di kedai Bahagia. Meski kutahu, senyum itu bukan untukku. Aku menantimu, Mia.
"Mia!" Sapa temanmu.
Dari situlah aku tahu namamu. Mia.
Kau datang lagi, aku bergegas ke meja di sudut kanan kedai. Mengintip tiap giatmu di balik jendela kaca yang tembus pandang. Merah jambu bajumu, hitam pekat jilbabmu. Aku tahu, kau perempuan feminis, dengan isi kepala bukan kepalang. Perempuan yang berbeda dari yang biasanya.
Saat berbincang dengan kawanmu, dari caramu menjelaskan, aku tahu, kau perempuan cerdas dan santun. Bagaimana tidak aku jatuh hati? Jika semua yang kudambakan ada pada dirimu.
Kuangkat ponselku, diam-diam aku memotretmu.
Kcauuu...!
Sial, flashnya menyala. Bodohnya aku. Mia menoleh ke arahku.
(BERSAMBUNG)