Mohon tunggu...
Ipmawan
Ipmawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tak perlu kita berjibaku mempertahankan fakta yang kita lontarkan, itulah kelebihan FIKSI

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ulat Bulu Pohon Alpukat

21 Mei 2011   15:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:23 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sesuatu yang mempunyai awal juga mempunyai akhir. Pepatah itu pun berlaku bagi pohon alpukat depan rumahku. Sisa-sisa akar pohon alpukat itu sekarang benar-benar terampas dari kedalaman tanah, setelah chainsaw menumbangkan batang perkasanya. Linggis-linggis terus menyeruak membuat lubang yang cukup dalam, mencari serabut sisa-sisa pohon alpukat yang sudah bercokol puluhan tahun. Tak membiarkan sedikitpun tersisa disembunyikan oleh tanah.

Kasihan burung-burung, kumbang-kumbang, kupu-kupu, ulat-ulat, dan para cacing tanah yang menghuni pohon alpukat itu. Adikku pun tak urung menangisi tumbangnya pohon yang menyediakan es juice kesukaannya. Tapi begitulah arti keseimbangan hidup, ada yang sedih ada juga yang bahagia. Tetangga-tetangga berbisik-bisik, merasakan lega, lepas dari terror ulat bulu pohon alpukat.

Aku masih ingat betul, di saat musim berbunga, jalan kecil depan rumah selalu sepi. Anak-anak sekolah, Ibu-ibu ke pasar, dan bapak-bapak pergi ke kantor, semuanya menghindari jalan kecil depan rumah. Lebih memilih jalan memutar yang lebih jauh dua kilometer. Selama satu musim, jalan kecil itu menjadi kekuasaan penuh para ulat bulu pohon alpukat. Hanya ada seorang yang dapat mengusik kekuasaan mereka, kakek. Pada masa penjajahan ulat bulu, kakek jadi pahlawan warga kampung. Dengan gagah berani, bersenjatakan sapu dan pengki, ia merontokkan ulat-ulat di dahan-dahan dan batang pohon alpukat, membuat ulat-ulat itu menjadi makanan ikan di kolam belakang.

Sesudah musim berbunga selesai, kekuasaan ulat bulu pun belum dikatakan usai. Ulat yang telah berubah jadi kupu-kupu besar yang tak bisa terbang itu tak jarang membuat orang-orang mengumpat di jalan depan rumah. Pada masa-masa ini, kepahlawanan kakek masih didambakan. Kali ini dengan sapu lidi, menyapu kupu-kupu malang yang terinjak, atau memang jatuh sendiri dari dahan pohon. Ikan di kolam pun kembali bersorak menyantap variasi menu yang disediakan kakek.

Tapi, setelah hari ini, kehidupan tak lagi sama seperti kemarin. Ikan-ikan tak lagi bersorak menyambut kakek membawakan mereka se-pengki ulat bulu, atau kupu-kupu malang. Tapi live must go on seperti kata seorang motivator di Tivi. Ikan-ikan di kolam masih harus melanjutkan hidup, setidaknya sampai lebaran depan dimana mereka akan berakhir di meja makan keluarga besar kakek.

Kumbang-kumbang, cacing di tanah musti mencari rumah mereka yang baru dan melanjutkan hidup demi masa depan. Generasi bulu pohon alpukat mungkin dalam beberapa tahun ke depan akan mengalami masa kegelapan, tapi aku yakin mereka akan menemukan pohon alpukat yang lain dan kembali meraih masa kejayaannya seperti masa dimana mereka menguasai jalan depan rumah. IB

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun