Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pemanasan Global dan Banjir Jakarta 2020

1 Maret 2020   14:25 Diperbarui: 1 Maret 2020   14:37 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemanasan Global atau Global Warming yang sekarang dihaluskan pengertiannya ,biar tidak terlihat ekstrim (atau tidak menohok penentangnya) menjadi Perubahan Iklim atau Climate Change sudah menjadi fakta yang menyakitkan yang sungguh berbeda dengan opini Presiden Amerika Serikat , Donald Trump, yang menganggap fenomena ini hanya sebuah ilusi, hoax atau fake facts (kenyataan palsu atau kebohongan) padahal kondisi bumi saat ini justru suhunya semakin panas dan akibatnya banyak bencana alam terjadi.  

Melelehnya gunung es di Artatika (Kutub Selatan), kebakaran hutan yang sangat masif di Australia dan Brazil, dan tenggelamnya pulau-pulau kecil di Lautan Pasifik karena naiknya permukaan air laut sudah membuktikan hal itu sedangkan kejadian akhir yang jadi berita utama di Indonesia adalah banjir Jakarta tahun 2020 yang berkali-kali terjadinya sehingga membuat Gubernur DKI Jakarta menjadi bulan-bulanan kritik warga DKI yang sudah lelah dan penat menghadapi masalah ini karena sepertinya tidak ada kemajuan dalam penanggulangannya padahal rumah, properti dan harta milik mereka banyak yang rusak dan porak poranda.

Pemanasan Global terjadi karena adanya radiasi sinar matahari yang tidak bisa dipantulkan kembali ke angkasa dan terjebak oleh emisi gas rumah kaca (green house effect) yang diakibatkan oleh polutan kegiatan manusia terutama akibat dari pembakaran energi fosil. Para ahli sepakat bahwa penggunaan energi fosil seperti minyak bumi, batu bara, gas dan lainnya yang menghasilkan karbon menjadi penyebabnya.

Sekitar 31 persen dari radiasi sinar matahari yang terdiri dari sinar gelombang pendek dan panjang (shortwave and longwave rays) dan cahaya yang bisa dilihat (visible lights) dipantulkan ke angkasa kembali sementara 69 persen sisanya diserap bumi. Dari 69 persen radiasi yang diserap bumi tersebar di permukaan bumi dan samudera sehingga menjadi lebih hangat temperaturnya.

Daerah di bumi seperti daratan dan tanaman/hutan lebat (darker vegetation) menyerap lebih banyak radiasi ini daripada apa yang dilakukan samudera, sementara lapisan es (ice sheets) dan permukaan bumi lainnya yang lebih tipis lebih banyak memantulkan daripada menyerapnya.

Normalnya tanpa hambatan dari emisi gas rumah kaca, temperatur bumi tetap terjaga karena  sinar matahari bisa dipantulkan kembali ke angkasa namun yang terjadi radiasi itu terjebak di bumi akibat efek dari emisi gas rumah kaca itu.

Nah kalau tidak bisa dipantulkan kemana karbon itu berada? Sebenarnya hutan yang lebat dapat menyerap radiasi itu,namun masalahnya penggundulan hutan untuk membuat ladang pertanian baru atau sawit dengan membakar hutan menyebabkan karbon tersebut mencari tempat lain untuk berdiam yaitu di lautan atau samudra.

Untuk mengurangi efek dari emisi gas rumah kaca, pada awalnya para ahli menganggap negara-negara maju, dalam hal ini negara-negara industri macam Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang sebagai pihak yang harus bertanggung-jawab, namun perkembangan selanjutnya negeri-negeri industri baru, salah satunya Indonesia harus ikut pula bertanggung-jawab. 

Dan di sinilah masalahnya karena negara-negara maju sudah menikmati devisa dari kue ekonomi yang didukung oleh energi fosil yang murah sejak jaman Revolusi Industri 1 (Tahun 1700-1800an) sementara katakan Indonesia belum juga menikmati keuntungan yang maksimal dengan memanfaatkan energi fosil untuk menggerakkan industrinya malah harus ikut juga bertanggung jawab, sehingga potensi ekonomi yang direncanakan bisa  gagal dan menyebabkan kesejahteraan rakyatnya terganggu.

Tapi lucunya negara maju seperti AS, Eropa dan Jepang tetap saja menggerakkan industrinya menggunakan bahan bakar fosil untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan AS terang-terangan saat ini terus memproduksi minyak buminya untuk menggerakkan industrinya.  

Sebenarnya banyak negara yang mengganggap Climate Change berbahaya bagi masa depan manusia dengan melakukan kesepakatan Paris 2015 agar setiap negara berkomitmen mengurangi emisi karbonnya. Indonesia juga bersepakat juga melakukannya dengan komitmen pada tahun 2045 mengurangi emisinya hingga 23 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun