Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warisan Muhammad SAW: Kejujuran

11 November 2019   14:36 Diperbarui: 11 November 2019   15:04 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini selayaknya yang kita angkat adalah kisah kejujuran Nabi Muhammad SAW yang sanggup menempatkannya sebagai pribadi terhormat, walaupun dia sendiri juga sudah terhormat karena dia adalah keturunan bangsawan di Mekah. Ayah Muhammad SAW adalah Abdullah bin Abdul Muthalib dari golongan Arab, Banu Ismail sementara ibunya bernama Aminah binti Wahab.  

Kejujuran yang ditempa oleh kebiasaan dan teladan yang baik dari ibunya (yang wafat saat beliau berusia 6 tahun), kakeknya (Abdul Muthalib) dan pamannya (Abu Thalib) yang mampu mengantarkannya menjadi pribadi yang dipercaya bukan hanya soal perdagangan (hitung-hitungan/neraca) tapi juga kepercayaan (karena kejujuran sehingga keadilan yang dihasilkan mampu diterima sebagai jalan terbaik).

Muhammad SAW sejak usia 12 tahun diajak pamannya membawa barang dagangan ke Syam (Suriah) sehingga mulai paham tentang perdagangan disamping itu sebagaimana biasa anak-anak seumurnya di Mekah, beliau juga menggembala kambing milik keluarganya dan milik orang lain. 

Tentu tidak mudah menghela dan menjaga kambing agar tidak hilang, tersesat dan dicuri orang, dan disinilah bakat kerja keras dan kejujurannya mulai terasah. Kejujurannya menjadi terkenal sehingga dipercaya oleh saudagar prempuan kaya bernama Siti Chadijah (yang kelak menjadi istrinya), janda yang telah dua kali menikah dan punya beberapa anak, untuk membawa barang dagangannya ke Syam. Perilakunya yang sesuai antara kata dan perbuatan membuatnya disebut sebagai "Al A-min" atau dapat dipercaya.    

Teladan yang baik seperti kejujuran, kedisiplinan, taat hukum sebenarnya ajaran universal (bukan milik Islam atau ajaran tertentu)  yang sudah diakui mampu menjadi perekat sekat-sekat dalam masyarakat apapun agama dan kepercayaan yang dianut masyarakatnya. Artinya menjalankan agama yang baik yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa seharusnya juga menghargai sesama manusia baik suku,agama, ras dan kepercayaannya, karena bila kita umat beragama saling menghina dan mengejek maka ini termasuk menjelekkan makhluk ciptaan Tuhan juga , khusus bagi agama Islam, Surat Al Hujurat ayat 13 yang isinya adalah : "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti."

Kejujuran juga menjadi cikal bakal harmoni dalam masyarakat terjamin dan hukum yang ditegakkan dengan landasan ini akan menjadi lebih adil karena akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan terhindar dari penegakan hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas atau tajam dan dilaksanakan secara patuh kepada orang-orang miskin atau tak berdaya tapi sebaliknya tumpul atau melempem alias tidak dilakukan kepada orang-orang kaya dan berkuasa.

Sebelum tinggal landas menjadi bangsa maju dan modern dengan target menciptakan banyak manusia cerdas dan tangkas di masa depan, jangan lupa bahwa manusia itu bukan robot dan makhluk seperti hewan yang hanya punya dimensi terbatas. Dimensi luas manusia yang juga bisa dianggap sebagai kekayaan tetap harus dijaga dan diatur dalam keberadaban dan menjunjung tinggi masyarakat dan budaya daerah yang ditinggalinya yaitu Indonesia. Artinya menjadi Indonesia tidak hanya cerdas dalam berpikir dan berimajinasi namun juga cerdas dalam berperilaku.

Kasus korupsi dan penegakan hukum yang tebang pilih sudah jadi masalah negeri ini sejak jaman baheula sebenarnya, namun mengapa hingga kini belum memuaskan untuk dituntaskan? Undang-undang penegakan hukum atas koruptor sudah beratus dan mungkin beribu lembar dibuat namun mengapa korupsi tetap marak? Apakah bangsa ini memang sebagian memang suka korupsi, artinya kalau tidak korupsi tidak hidup layak? Apakah bangsa ini hanya pintar mengonsep tapi segan dan tidak mau melakukannya apalagi bila menimpa pribadi, kerabat dan kelompoknya sendiri? Pertanyaan ini kembali ke jati diri kita sendiri, sebagai muslim, apakah kita sudah atau belum atau ogah meneladani contoh terhebat dari Nabi Muhammad SAW?

Dalam Al Qur'an dijelaskan kita harus berlaku adil dalam perdagangan dengan menimbang barang sesuai ukuran dan harganya, bukan dikurangi agar dapat keuntungan sebanyak-banyaknya, namun dengan merugikan yang lain seperti dalam Surat Asy-Syu'are ayat 181-182 "Sempurnakan takaran dan jangan menjadi orang yang merugikan. Dan timbanglah menggunakan timbangan yang lurus."

 Hal lain sebagai hakim harus juga berlaku adil dan tidak berat sebelah seperti dalam Surat An Nisaa ayat 135 : "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan [kata-kata] atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan."

Namun uniknya kejujuran di negeri ini masih menjadi barang mahal karena si pelaku korupsi yang sudah ditangkap banyak masih bisa melempar senyum dan menganggap hal ini sebagai takdir yang sudah digariskan Tuhan. Sebagian malah menganggap uang hasil korupsi dan suap itu rejeki yang layak dicari dan jangan pernah ditolak . Apakah karena si koruptor yakin dia akan dihukum ringan, tidak dimiskinkan dan tidak bakal dihukum mati? Kemudian penegak hukum yang mempermainkan hukum juga merasa wajar dan merasa legal dengan memenangkan yang salah dan menghukum yang benar. Ada apa ini?  Apakah warisan (jelek dan tak mendidik) ini yang akan kita berikan kepada generasi rakyat Indonesia berikutnya? Cerdas secara akal tapi culas secara moral?    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun