Kebijakan pajak di Indonesia selalu menjadi topik hangat. Terutama karena ini sangat berpengaruh bagi kenyamanan operasional keuangan wajib pajak. Sejak 13 Februari 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan bahwa sistem lama e-Faktur dapat digunakan kembali. Kebijakan ini tentu menimbulkan berbagai cuitan di kalangan pengusaha, akuntan, dan karyawan yang berurusan dengan perpajakan. Lalu, apakah sistem Coretax merupakan kemajuan atau kemunduran?
Pada awalnya, sistem Coretax dirancang untuk membantu pengusaha WP untuk menerbitkan faktur pajak mereka yang disahkan pada tanggal 1 Januari 2025. Coretax atau Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) direncanakan untuk mengintegrasikan berbagai proses bisnis yang terkait dengan urusan penyetoran dan pelaporan pajak oleh wjib pajak (Kompas, 2025). Namun, semenjak diterapkan pada awal tahun, sistem ini tidak dapat memenuhi ekspektasi untuk para WP, melainkan banyak kendala yang muncul mulai dari kesulitan log-in hingga data pajak yang tidak sesuai. Lalu sistem tersebut dilaporkan sering error sehingga memperlambat alur bisnis dari para WP dan staff pajak di berbagai badan usaha yang diharuskan lembur karena kendala yang satu ini.
Kepraktisan atau Ketidaksiapan?
Mulai dari sosialisasi yang tidak terarah, sistem yang suka error, hingga kesulitan-kesulitan lainnya yang terdapat pada sistem Coretax. Hal ini dirasakan oleh para pengusaha WP karena belum semua pelanggan mendapatkan sosialisasi yang jelas, sehingga sesama WP harus saling berbagi informasi yang berdampak pada kecepatan proses pembayaran. Berbagai keluh kesah sudah bermunculan di sosial media dan terbit cuitan-cuitan dari para staff perusahaan yang dirugikan akibat pergantian sistem ini. Bisa dilihat beberapa keluhan pada sosial media Coretax.id yang diunggah pada tanggal 14 Februari 2025 dan komentar pedas dari netizen terhadap pengumuman kembalinya sistem e-Faktur Client Desktop.
Keputusan untuk tetap menggunakan sistem lama dapat dilihat sebagai solusi praktis bagi banyak pengusaha yang mungkin sudah terbiasa terhadap sistem e-Faktur Client Desktop. Dibandingkan dengan sistem Coretax, yang dianggap “belum sempurna” tetapi sudah diluncurkan untuk dipakai sebagai pengganti e-Faktur nyatanya malah berlaku sebaliknya. Bagi mereka, menghadapi sistem baru dan beradaptasi dengan sistem Coretax merupakan tantangan yang melelahkan, membuang banyak waktu dan tenaga.
Lantas, apakah keputusan ini juga menimbulkan tanda tanya: Mengapa Coretax yang harusnya menjadi solusi yang lebih efisien, tidak didahulukan? Pihak DJP tidak menginformasikan apakah ada kelemahan dalam sistem atau adanya ketidaksiapan untuk diimplementasikan secara penuh. Jika memang Coretax bisa lebih efisien, mengapa masih memberikan opsi untuk memakai sistem lama? Hal ini menunjukkan adanya ketidaksiapan dalam sektor perpajakan.
Infrastruktur Digital: Perlukah Modernisasi?
Indonesia terus mendorong digitalisasi dalam berbagai aspek, termasuk perpajakan. Sistem Coretax dirancang untuk mempermudah proses administrasi pajak dengan mekanisme yang lebih modern dan terintegrasi. Namun, apabila Coretax belum siap atau kurang efektif, maka patut dipertanyakan apakah infrastruktur digital DJP sudah cukup kuat untuk menopang sistem pajak berbasis teknologi terbaru?
Di banyak negara maju, digitalisasi perpajakan telah memberikan manfaat besar, mulai dari transparansi hingga efisiensi dalam pengelolaan pajak. Jika Indonesia ingin mengejar ketertinggalan dalam hal ini, maka pembaruan sistem seharusnya menjadi prioritas utama. Namun, apabila sistem baru justru menimbulkan lebih banyak masalah dibanding solusi, maka pemerintah perlu meninjau ulang kesiapan teknisnya sebelum memaksakan implementasi. Mungkin perlu adanya tes ulang terhadap sistem secara keseluruhan sebelum diluncurkan untuk digunakan secara massif secara bersamaan.