Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seluk-beluk Orientasi Seksual LGBT (Bagian 1)

3 Mei 2016   17:21 Diperbarui: 19 Juli 2016   11:31 4306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Eksorsisme atau ritual pengusiran setan terhadap seorang gay. Ini ekstrim, tak ilmiah, cuma takhayul dan kebodohan. Sumber gambar http://douglaswhaley.blogspot.co.id/2014_06_01_archive.html.

Sayangnya, di tahun 2016 posisi yang sudah betul ini diubah oleh PDSKJI seratus delapan puluh derajat! Perubahan ke posisi yang tidak ilmiah ini dimulai oleh psikiater dan direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA di Kemenkes RI, dr. Fidiansyah SpKJ MPH, pada acara Indonesia Lawyers Club di TV One 16 Februari 2016. Dalam acara itu, dia menyatakan kepada publik bahwa OS LGBT adalah suatu gangguan jiwa sebagaimana, menurutnya dengan keliru, telah dinyatakan dalam buku tebal PPDGJ III yang sudah dirujuk di atas. Reaksi-reaksi keras berbagai kalangan terhadap pemelintiran fakta sains yang telah dilakukan oleh dr. Fidiansyah ini tentu saja bermunculan hingga akhirnya memaksanya minta maaf; namun dia juga tetap bertahan bahwa dia benar dengan pendapat keagamaannya bahwa LGBT tidak diridohi Allah SWT! Beliau tentu lupa bahwa psikiatri itu sains empiris, bukan agama! 

Lalu aneh juga, seorang menteri yang diberitanggungjawab untuk bidang riset dan teknologi NKRI, Muhamad Nasir, belum lama ini sempat mengeluarkan sebuah larangan bagi semua bentuk kegiatan yang terkait dengan LGBT di semua kampus di seluruh Indonesia (misalnya seminar, diskusi, konsultasi dan konseling). Tapi bagi mahaguru psikologi Universitas Indonesia, Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, sikap Menristek ini hanyalah sebuah reaksi bertahan (defense mechanism) yang mewakili salah satu unsur saja dalam masyarakat yang melihat kaum LGBT sebagai suatu ancaman yang membahayakan masyarakat. Selanjutnya, Prof. Sarlito menegaskan bahwa “Saya yakin LGBT di Indonesia tidak akan punah, karena LGBT itu sebagian dari sunatullah juga.”/40/

Tidaklah mengejutkan jika pada 9 Maret 2016, ketua American Psychiatric Association (APA), Ms. Renée Binder, bersama Saul Levin, atas nama APA telah menulis sebuah surat resmi kepada PDSKJI terkait soal LGBT di Indonesia. Lewat surat itu (yang ditujukan ke Dr. Tun Kurniasih Bastaman), APA mendesak PDSKJI untuk meninjau kembali posisi PDSKJI  yang menyatakan bahwa homoseksualitas (atau LGBT) tergolong suatu gangguan jiwa atau suatu penyakit mental, lantaran posisi PDSKJI ini tidak memiliki bukti ilmiah apapun yang mendukung. Selanjutnya APA menegaskan bahwa “ada suatu komponen biologis yang kuat yang membentuk OS, dan bahwa OS dapat dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan kehidupan. Pendek kata, tidak ada bukti ilmiah bahwa OS (baik heteroseksual, homoseksual, maupun yang bukan) adalah suatu pilihan bebas individual.”/41/

Jika ada kalangan di NKRI yang memandang LGBT sebagai suatu abnormalitas, suatu gangguan jiwa, suatu kutukan Tuhan, saya, positif saja, mendorong mereka untuk mendirikan banyak klinik terapi LGBT, jika memang kalangan yang anti-LGBT ini dimotivasi oleh cinta kasih kepada LGBT. Lalu kita wait and see, akan adakah “pasien” yang akan dengan ikhlas, rela dan happy mau datang berobat, gratis sekalipun. Atau semua klinik mereka akhirnya terpaksa ditutup karena tidak ada satu pasien pun yang datang untuk berobat. Alhasil, para penyandang dana dari Timteng atau dari Amerika untuk klinik-klinik itu semuanya akan akhirnya mencak-mencak, keki banget, setelah mereka gagal mengubek-ubek NKRI.

Atau, sebagaimana sudah diungkap di atas, terapi reparasi LGBT hanya sementara saja akan menampakkan “kesembuhan” pada seorang pasien LGBT labil tipe distonik yang selalu resah dan tidak percaya diri; tetapi sekian waktu kemudian si pasien ini ternyata malah akan dapat makin depresif, dan kondisi mentalnya yang memburuk ini dapat berakhir dengan bunuh diri.

Jadi, menurut saya, LGBT tipe distonik tidak memerlukan terapi reparasi atau terapi konversi. Yang mereka butuhkan adalah pemberdayaan lewat pendampingan yang sinambung sehingga akhirnya mereka dapat dengan positif menerima kenyataan bahwa mereka memang LGBT, lalu dapat hidup riang dan gembira sekalipun mereka LGBT. Lebih penting lagi, mereka dapat bekerja mencari nafkah dengan halal dan terhormat, dan dapat mencapai cita-cita mereka.

Pada sisi lain, masyarakat juga perlu dengan bertahap dibimbing dan disadarkan sehingga akhirnya mereka juga dapat menerima kalangan LGBT sebagai sesama manusia yang sama bermartabat dan sama terhormat seperti kalangan hetero.

Bagaimanapun juga, anda perlu mengantisipasi bahwa pro dan kontra terhadap kalangan LGBT di negara kita sekarang ini akan membuka banyak peluang bisnis baru reparasi LGBT yang akan dikelola oleh lembaga-lembaga keagamaan konservatif dari berbagai agama. Sejauh saya tahu, telah ada sebuah komunitas di negeri ini yang diberi nama Peduli Sahabat yang mengklaim mampu mereparasi OS LGBT untuk pulih kembali ke OS heteroseksual.

Belum lama ini, 24 Februari 2016, Prof. Franz Magnis-Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, menyatakan bahwa usaha “mau menyembuhkan atau membina ke jalan yang benar mereka yang berkecenderungan alami [sebagai LGBT] adalah tidak masuk akal.” Selanjutnya, Prof. Magnis menegaskan bahwa “kita mesti menyepakati bahwa segala diskriminasi terhadap mereka yang homo harus diakhiri. Orientasi seksual tidak relevan untuk kebanyakan bidang kehidupan. Dari seorang pejabat tinggi dapat diharapkan bahwa dia bisa membedakan antara wawasan tingkat taman kanak-kanak dan wawasan universitas. Justru universitaslah tempat di mana diskursus kompeten dan terbuka terhadap implikasi perbedaan orientasi seksual harus dibicarakan. Para rektor universitas wajib berat menjamin kebebasan akademik.”/42/

Saya juga mau ingatkan bahwa dalam bab terakhir bukunya, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation, LeVay mengusulkan segi-segi lain dari seksualitas manusia, khususnya OS homoseksual, yang perlu diteliti dalam kajian-kajian mendatang. Ini adalah sebuah sikap ilmiah tulen, sikap yang tidak melihat temuan-temuan ilmiah sendiri apapun sudah final, yang tidak menyisakan segi-segi lain yang harus diteliti lebih lanjut.

Tidak ada sains yang sudah final. Sains selalu membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, yang bisa menfalsifikasi temuan-temuan sebelumnya atau malah memperkuat. Sejauh ini, LeVay menemukan semua temuan kajian OS homoseksual sebelumnya valid, terverifikasi. Meskipun demikian, sebagai sains, kajian-kajian tentang homoseksualitas tidak akan berhenti, kapanpun juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun