Suasana hari raya, kadang ingatan beranjak jauh mengenang  masa-masa kebersamaan dengan ayah dan ibu,  kami semua bergembira betapa hari raya banyak membawa suasana gembira.  Namun perjalanan  kehidupan membuat saya, kerap bertemu dengan sosok yang mirip dengan ayah, kenangan seakan timbul kembali, betapa saya kerap menyesal belum bisa melayaninya dengan hati yang murni, tulus dan menyentuh..... ke buru beliau menghadap kepada Hyang Maha Tunggal.
Pagi ITU udara pesisir barat masih berhembus sejuk, daun-daun disertai suara burung  menyambut pagi. Laki-laki tua itu berdiri sendiri,  dia tampak diantar oleh TUKANG OJEK. lalu berdiri di pinggir jalan. Saya memandangnya dengan tajam, wajah dan gerak-geriknya menyerupai ayah saya.
 Dia sendiri berdiri dengan napas yang agak berat dan batuk -batuk  menunggu angkot (angkutan kota) yang lewat.  Saya mendekat, dan bertanya , bapak sendiri?  Ya  saya sendiri mau ke rumah sakit terdekat. Saya  hendak  melakukan cuci darah, sendiri, tanpa ada yang menemani.  Tolong  beri tahu kalau ada angkot yang menuju rumah sakit itu.  Begitu dia berkata dengan lugu.
Ya... saya tanya, kenapa tidak ditemani keluarga yang lain, dia tersenyum , sambil menjawab, Ya.... istri saya sakit di rumah , dia tidak bisa melihat karena gangguan mata, glaukoma, katanya pelan. Tak ada yang lain, kami berdua renta di rumah  dengan menyebut  desa, yang berjarak 10 km dari tempat itu, cukup jauh.
Dia memiliki anak namun semuanya bekerja di kota. " Mereka telah memberikan sangu pada kami, beruntung kami memiliki anak-anak dan menantu mengerti, Â mereka hormat dan sayang pada kami, namun pekerjaan nya tak ada di kampung., tambahnya. Sekolah tinggi kerap memisahkannya dengan desa -nya, desahnya
Kami  menyekolahkannya, namun keterampilan dan profesi yang dia geluti tidak  ada di desa ini. Kami lah yang tinggal  didesa. Desa menjadi kumpulan orang tua renta, dia ramai ketika hari raya, atau saat ada kematian orang tua mereka.
 Mereka ingin kami ada di sisi mereka, dan ikut ke  kota, namun kampung kami memiliki tradisi budaya, 'ayahan desa' tidak memungkinkan , kami meninggalkannya. Rambut  sudah  rontok  disini , disinilah kami akan berakhir . Tak ada tempat lain.
Tradisi itu harus hidup, dengan alasan  mempertahankan 'tradisi leluhur' ,seperti  ikut "sesana", sangkep",  "ngusaba" dan lain-lain. Semua hal-hal itu  menuntut  kehadiran fisik, maka kami memilih tinggal di desa. Desa memang tenang, namun terasa berat bagi kami yang renta.
Sejak setahun lalu saya  sakit-sakitan, ginjal  tidak berfungsi, kondisinya terus melemah. Tak ada pilihan lain hidup ini  tergantung pada mesin hemodialysis (cuci darah) tanpa itu,  saya sudah pergi jauh'. Jawabnya tersenyum kecut.
 Ini semua saya nikmati, dan saya merasa bahagia bisa bertemu dengan dirimu. Salah satu yang mau mendengarkan cerita ku. Walaupun aku sadar menjadi tua adalah keniscayaan. sebab seiring bertambahnya usia, tiga hal terjadi. Yang pertama adalah ingatanmu menghilang, dan aku tidak bisa mengingat dua lainnya
Lalu angkot yang kami tunggu datang jua, kami naik dan  berangkat , dia pas duduk di samping saya. Dia tersenyum dan berkata'  tolong pegang tangan saya, katanya minta tolong, kepala saya pusing, katanya dengan suara lemah .Â